Pakpak di Singkil: Sejarah Perlawanan Sultan Daulat dan Kerajaan Batu-batu kepada Kolonial Belanda

ilustrasi
DAIRI KEREN -- Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi Kerajaan Batu-Batu sebelum ekspedisi kolonial Belanda, faktor penyebab kolonial Belanda masuk ke wilayah Kerajaan Batu-Batu di Subulussalam (Tanah Singkil), perlawanan Sultan Daulat dalam menentang kolonial Belanda, dan peranan Sultan Daulat melawan kolonial Belanda di Subulussalam(tanah Singkil) dari penjajahan Belanda pada tahun 1901-1912.Untuk memperoleh data yang diperlukan didalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian sejarah, dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dan studi pustaka (library research).Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa situasi Kerajaan Batu-Batu sebelumkedatangan kolonial Belanda termasuk dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh), merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat.

Baca Mengenai Singkil di Sini dan Sini

Faktor-faktor kolonial Belanda masuk ke Kerajaan Batu-Batu karena Sultan Daulat membuat bentengpertahanan, alat-alat perang seperti peluru meriam dan mesiu. Dan Kerajaan Batu-Batu satu-satunya yang tidak mau tunduk terhadap kolonial Belanda sedangkan kerajaan-kerajaan di wilayah Singkil telah tunduk terhadap kolonial Belanda.Perlawanan yang dilakukan Sultan Daulat terhadap penyerangan pasukan Belandadilakukan dengan cara perang frontal dan gerilya, dengan semangat perang inipenyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dapat dilawan walaupun bentukperlawanan yang tidak seimbang. Peranan Sultan Daulat melawan kolonial Belanda dalam memperjuangkan daerah Subulussalam (Tanah Singkil) dari penjajahan kolonial Belanda yaitu Sultan Daulat membangun benteng pertahanan, membuat peluru dan mesiu meriam. (sumber)

Lihat kajian lainnya

PERDAGANGAN MARITIM DI SINGKIL

A. Zaman VOC

Bangsa Belanda pada mulanya datang di Indonesia untuk berniaga. Mula-mula terdapat beberapa kongsi dagang yang menyediakan kapal-kapal[1]. Banyaknya persaingan dalam perdagangan di antara sesama bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Perancis dan Inggris), ditambah kurang adanya kerja sama di antara sesama bangsa Belanda sendiri pedagang-pedagang Belanda yang tergabung dalam Compagnie van Verre mengalami kerugian besar. Untuk menghindari kebangkrutan, maka para pedagang Belanda yang saling bersaingan tersebut kemudian bersatu dalam satu wadah organisasi yang dikenal dengan nama de Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Pada tahun 1602 badan ini mendapat octrooi dari Staten Generaal, yang berisi monopoli perdagangan antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaens. Octrooi ini berlaku selama 21 tahun, dan di dalamnya juga termaktub, bahwa kumpeni diperbolehkan membuat perjanjian dengan raja-raja, mendirikan benteng, memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, membentuk tentara, mencetak mata uang sendiri dan sebagainya[2]. Tujuan VOC yang paling utama adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Selain dari pada itu, kerja sama diperlukan dalam pembelian barang-barang di Timur untuk menghindarkan persaingan antara orang-orang Belanda sendiri. Di pulau rempah-rempah, penduduk hanya mau menerima beras dan pakaian sebagai alat pembayaran dan bukannya uang. Tetapi di situ pasar untuk pakaian sangat terbatas, sehingga naiknya harga rempah-rempah segera menyebabkan berkurangnya penawaran.[3]

Pada masa itu yang melakukan perdagangan di Indonesia, masing-masing berusaha mendapatkan monopoli, baik penguasa-penguasa lokal maupun bangsa-bangsa Eropa lainnya. Karena itu, untuk dapat turut serta dalam perdagangan ini dengan baik, maka orang harus mendapatkan suatu monopoli. Demikian pula, politik VOC diarahkan untuk memperoleh monopoli di Indonesia terhadap orang-orang Eropah dan penguasa-penguasa lokal lainnya. Karena itu mereka berusaha mendapatkan monopoli ekspor bagi barang-barang hasil Indonesia dan monopoli impor barang-barang impor Indonesia yang terpenting pada waktu itu[4].

Dalam mencari hasil rempah-rempah di Nusantara (Indonesia), VOC Belanda sering kali harus berhadapan dengan orang-orang Portugis dan Spanyol. Agar ada kekuatan yang lebih besar, VOC memutuskan memberikan pimpinan pusat bagi perusahaannya di Nusantara dan pada tahun 1609 mereka mengangkat Pieter Both sebagai Gubernur General (GG) berkedudukan di Ambon. Sementara itu kedudukan Portugis sedikit demi sedikit terdesak tetapi orang-orang Inggris masih merupakan saingan yang berat.

Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen berkuasa antara tahun 1619-1623 dan 1627-1629. Ia memandang perlu untuk menghentikan persaingan orang-orang Inggris dan mengusir mereka dari Nusantara. Untuk menghadapi Inggris, Coen akhirnya memindahkan kantor dagangnya yang berada di Ambon ke kota Batavia (Jakarta)[5].

Akhirnya VOC menggantikan kedudukan Portugis di Indonesia dan memperoleh hak-hak istimewa dalam perdagangan dengan raja-raja di Indonesia. Menurut Gonggrijp pada hak-hak istimewa itu terdapat peralihan yang berangsur-angsur, antara keuntungan dari perdagangan bebas, keuntungan dari hak beliutama, keuntungan dari monopoli, pendapatan dari penyerahan wajibdan keuntungan dari kontingen-kontingen.[6] Batas antara antara yang kedua macam yang terakhir itu tidak jelas, tetapi penyerahan wajib yang terdiri dari penyerahan barang-barang yang jumlahnya berubah-ubah dan dibeli dengan harga yang telah ditetapkan, umpanya lada dari singkil. Adapun kontingen-kontingen dalam jumlah yang tetap, yang harus diserahkan dengan mendapat bayaran yang sedikit atau tidak dibayar sama sekali.[7]

Pada ababd XVII kekuasaan VOC makin kokoh dan keuntungannya semakin besar. Keuntungan yang besar ini diperoleh karena raja-raja di Indonesia akhirnya harus menyerahkan hasil-hasil tanaman dalam bentuk sumbangan paksa (verplichte leverantien). Di samping itu masih ada contingenten, upeti-upeti dalam bentuk barang dagangan tanpa pengganti dari VOC.

Keserakahan dan nafsu mencari untung sebesar-besarnya yang dilakukan oleh VOC Belanda menimbulkan konflik dengan para penguasa daerah yang dirugikan. Perlawanan-perlawanan pun akhirnya tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertempuran, walaupun perlawanan-perlawanan itu akhirnya dapat ditumpas. (Baca: Gold, Glory and Gospel)

Belanda berusaha memperluas daerah pengaruh kekuasaannya di pulau Sumatera. Kepala-kepala daerah diminta untuk bekerja sama dengan Belanda dan hanya dibolehkan berdagang dengan Belanda. Bagi para penguasa daerah yang menentang, akan ditundukkan dengan kekerasan.
Setelah Belanda berhasil menguasai Bengkulu, Riau, Padang dan sebagian Sumatera Utara, Belanda mulai melirik daerah Singkil. Daerah Singkil yang memiliki hasil bumi yang melimpah, terutama pala, lada, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil hutan lainnya harus jatuh ke tangan VOC. Pada tahun 1670, VOC Belanda meminta Haji Lebei Dapha menerima kehadiran kapal dagang Belanda. Mengingat Belanda hanya ingin berdagang, penguasa Singkil tersebut dengan senang hati menerima kehadirannya. Bahkan dijalin kerja sama perdagangan rempah-rempah dengan Belanda. Semula keuntungan dagang yang diperoleh cukup besar karena Belanda bersedia membeli rempah-rempah dari Singkil dengan harga mahal.

Pada saat bersamaan dengan kehadiran Belanda, Haji Lebei Dapha sedang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Aceh. Hal ini dilakukan karena upeti yang harus dibayarkan kepada Sultan Aceh dirasa sangat memberatkan. Lebih dari itu, barang-barang produksi dari Singkil harus dijual dengan harga yang telah ditetapkan kepada Sultan Aceh. Karena Singkil merasa tidak bebas berdagang dengan bangsa lain, menyebabkan kehadiran Belanda dianggap sebagai dewa penolong dan menjalin hubungan kerjasama yang baik. Atas dasar inilah, akhirnya Haji Lebei Dapha memberi hak istimewa kepada VOC Belanda, dengan harapan VOC Belanda bersedia membantu Raja Singkil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh.

Atas bantuan VOC Belanda, Raja Singkil berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh. Sebagai upahnya, pada tanggal 14 Maret 1672 VOC Belanda memaksa penguasa daerah tersebut untuk menandatangani surat perjanjian yang sangat merugikan kerajaan Singkil. Adapun isi perjajian bilateral tersebut di antaranya yaitu : (1). Kerajaan Singkil harus setia sepenuhnya kepada Belanda; (2). Semua hasil bumi harus dijual kepada asosiasi dagang Belanda atau VOC dengan harga yang ditentukan oleh pihak Belanda. Ternyata Belanda sangat licik dan penipu. Bantuan yang diminta untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh justru jadi bumerang yang menyebabkan Singkil akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Sebagai raja kecil, ia tidak ada pilihan lain selain harus menerima persyaratan yang disodorkan pihak Belanda. Perjajian bilateral yang dibuat pada tanggal 14 Maret 1672 dengan berat hati terpasksa ditandatangani oleh Haji Lebei Dapha.

Walaupun dengan terpaksa Haji Lebei Dapha menerima keinginan Belanda, tetapi ada juga tokoh-tokoh masyarakat Singkil yang menentangnya. Salah satu di antaranya yaitu seorang penghulu Singkil yang bernama Raja Lela Setia dengan keras menentang perjanjia yang sangat merugikan tersebut. Ia menyatakan akan tetap setia kepada kesultanan Aceh dan anti terhadap belanda. Oleh karena itu, ia berusaha menjual hasil rempah-rempah Singkil ke daerah lain. Pembangkakang itu membuat Belanda berang dan mengancam akan menghukumnya. Raja Lela Setia tidak takut ultimatum Belanda tersebut. Akhirnya Belanda mengirim satu kompi pasukan perang ke Singkil untuk menangkap Raja Lela Setia dan para pengikutnya.

Sebelum tentara Belanda datang, Raja Lela Setia melarikan diri sehingga penangkapan atas diri dan pengikutnya tidak berhasil. Belanda kemudian memaksa penghulu Singkil lainnya untuk membantu menangkapnya. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Untuk memantapkan kekuasaannya di Singkil, Belanda kemudian memperbaharui perjanjian yang telah dibuatnya dahulu dengan perjanjian baru yang isinya : (1). Seluruh hasil bumi Singkil harus diserahkan kepada Belanda dengan harga yang sangat rendah; (2). Para penghulu Singkil diwajibkan untuk mengusir Raja Lela Setia apabila kembali ke Singkil.

Pada tanggal 12 Februari 1681, Belanda menyodorkan surat perjanjian baru kepada para penguasa daerah di Singkil. Pihak Belanda diwakili oleh Jan Vaan Leene dan Aren Silvius. Sedangkan raja-raja Singkil yang dipaksa menandatangani perjanjian baru tersebut di antaranya yaitu : Raja Indra Mulia (penguasa wilayah kanan sungai), Mashoera Diraja (penguasa wilayah kiri sungai), Raja Setia Bakti, Penghulu Siking Tousian, Penghulu Banti Panjang Tonsidin, Penghulu Batu-Batu, Penghulu Perbentjein, Penghulu Kota Baru, Pang Hitam. Adapun yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah utusan dari Kerajaan Barus[8].

Pascapenandatanganan perjanjian tersebut, menyebabkan kedudukan Raja Lela Setia digantikan oleh Masoera Diraja. Pada masa pemerintahan Raja Pedytam, perjanjian tersebut dirasa sangat menyakitkan dan merugikan pihak Singkil. Rakyat menjadi sangat menderita karena hasil panennya hanya dibeli dengan harga murah sehingga tidak dapat untuk menutup kebutuhan hidupnya. Raja Pytam ingin menolong penderitaan rakyatnya, namun beliau tidak berani melawan secara terang-terangan. Ia hanya dapat menyuruh Minuasa memimpin sekelompok orang kepercayaan untuk menyembunyikan hasil bumi dan menjualnya ke pelabuhan lain melalui penyelundupan atau perdagangan gelap. Semula penyelundupan ini aman-aman saja sehingga dapat sedikit membantu mendongkrak perekonomian rakyat. Namun lama-kelamaan usaha perdagangan gelap tersebut dapat diketahui Belanda. Pihak Belanda marah dan menyiapkan satu kompi pasukan untuk menyergap kawanan penyelundup tersebut. Karena tidak menyangka akan adanya serangan dadakan, maka banyak anak buah Minuasa yang berhasil ditangkap tentara Belanda.

Setelah kejadian itu, Belanda melakukan pembaharuan perjanjian lagi. Pada tanggal 8 Juni 1707 Belanda memaksa wakil dari penguasa Singkil untuk menandatangani perjanjian tersebut. Adapun isinya merupakan penyempurnaan isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, ditambah dengan pernyataan bahwa penguasa Singkil yang tunduk pada Belanda harus mencari dan menangkap orang-orang yang anti Belanda.[9]

Tindakan Belanda yang merugikan masyarakat Singkil tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal tersebut akhirnya diketahui pula oleh Inggris. Oleh karena itulah dengan kedok ingin menolong rakyat Singkil dari kekejaman Belanda, Inggris berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Memasuki abad XVII, perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East Indian Company berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Setelah Inggris memantapkan kekuasaannya di kawasan Bengkulu (Fort Marlborough), Natal, Poncan dan Barus, perusahaan dagang Inggris berusaha mencari hasil bumi di wilayah Singkil. Secara diam-diam para penguasa Singkil melakukan hubungan dagang dengan Inggris. Hal tersebut menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang telah lebih dahulu menguasai Singkil. Menyadari bahwa Singkil telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda, Inggris kemudian meninggalkan Singkil.

Memasuki abad XVIII, perdagangan di kawasan Asia Tenggara semakin ramai dikunjungi kapal-kapal dari Eropa dan Amerika. Hal tersebut juga berpengaruh di wilayah Singkil. Tidak hanya kapal-kapal dagang Belanda saja yang mengangkut hasil bumi dari singkil, tetapi juga datang kapal-kapal dagang dari Inggris dan Amerika. Hal ini menyebabkan rakyat Singkil tidak lagi loyall kepada Belanda yang telah memeras dan menindas selama hampir tiga puluh tahun lamanya. Kehadiran kapal-kapal dagang Inggris dan Amerika dianggap sebagai penyelamat perekonomian rakyat singkil karena hasil-hasil bumi mereka dapat dijual bebas kepada mereka.

Lebih-lebih setelah kedua negara (Amerika dan Inggris) tersebut menumbuhkan iklim perdagangan bebas, maka keuntungan rakyat Singkil dalam penjualan hasil bumi semakin meningkat. Hal ini sangat berbeda dengan Belanda yang menerapkan sistem monopoli yang sangat merugikan rakyat. Kehadiran kapal-kapal dagang dari kedua negara tersebut menyebabkan kedudukan Belanda di Singkil terancam dan makin lama semakin terdesak.

Perebutan hasil bumi seperti kemenyan, kapur barus, lada, rotan dan hasil hutan lainnya pada waktu itu menjadi semakin ramai, sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di antara para pedagang asing yang datang ke daerah tersebut. Pusat-pusat perdagangan menjadi ajang perebutan. Pada waktu itu, pelabuhan utama yang menampung hasil-hasil bumi dari daerah Singkil terdapat di tiga tempat, yaitu : Pertama, di sebelah utara di tarik garis sampai ke Barat Ujung Bawang, Kedua di sebelah timur dan yang ketiga, di sebelah barat ke arah selatan dekat jalan Singkil yang terletak depan benteng Singkil. Kapal-kapal dagang ukuran besar dapat berlabuh di dermaga dengan kedalaman 5 – 10 vadem.

Kehadiran pedagang-pedagang Inggris dan Amerika menyebabkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin sempit dan akhirnya tersingkir dari Singkil. Setelah itu maskapai perdagangan Inggris East Indian Company menjadi semakin kuat kedudukannya di daerah Singkil. Namun di sisi lain, kesultanan Aceh berusaha merebut kembali kekuasaannya yang telah hilang di Singkil. Upaya itu dilakukan dengan cara menghasut penduduk Singkil dan Bengkulu supaya menentang Inggris. Pada bulan Agustus 1771, Residen Inggris yang bernama Gilles Holoway bersama Kapten Forrest berangkat ke Aceh dengan kapal Luconia dengan maksud akan menemui Sultan Aceh untuk membuka perdagangan di kawasan yang menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Di samping itu, Inggris juga meminta agar kesultanan Aceh tidak mengganggu kegiatan perdagangan Inggris di kawasan Tapanuli. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh orang-orang India Madras yang tergabung dalam Madras Syndicate Association.[10]

Adanya rintangan dari orang-orang Madras tersebut, Inggris marah dan memerintahkan kapal perangnya untuk menghukum mereka. Pengiriman kapal perang tersebut dipimpin langsung oleh Sir Henry Botham. Setelah orang-orang India Madras tersebut berhasil dihalau, armada perang Inggris mulai mengincar daerah-daerah kekuasaan Belanda di sepanjang pantai barat Sumatera. Setapak demi setapak kedudukan pos-pos Belanda di pesisir barat pulau Sumatera direbut armada perang Inggris. Tindakan itu dilakukan karena di Eropa sendiri sedang Inggris sedang berperang dengan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Belanda yang telah dikuasai oleh Perancis dianggapnya sebagai musuh Inggris. Oleh karena itu, kedudukan Belanda di Sumatera dan Jawa juga terancam oleh serangan Inggris. Setelah negara-negara di Eropa berdamai pada tahun 1788, pos-pos Belanda yang dikuasai oleh Inggris diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1795 di Eropa terjadi Revolusi Perancis, sehingga Inggris kembali memusuhi Belanda. Armada Perang Inggris yang dipimpin oleh Edward Cooles menyerang lagi pos-pos Belanda di sepanjang pantai Barat Sumatera. Mereka bertindak atas nama Pangeran Orange yang berpihak kepada Inggris. Hal tersebut dilakukan supaya kekayaan Belanda di Nusantara tidak jatuh ke tangan Perancis.
Pada tanggal 20 Juni 1801 Inggris mengangkat John Prince sebagai Residen baru untuk daerah Tapanuli dan Singkil. Ia membeli lada sebanyak 300 ton setiap tahun yang dikumpulkan dari Susoh dan Singkil. Untuk kelancaran pengapalan lada tersebut, Inggris mengadakan perjanjian dengan raja-raja Tapanuli Tengah pada tanggal 11 Maret 1815, yang diberi nama dengan Perjanjian Poncang atau Batigo badunsanak[11].
Akhirnya Belanda tahu bahwa kedudukan Inggris di pesisir barat Sumatera tidak begitu kuat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebutnya kembali. Dengan melipat gandakan armada perangnya Belanda kemudian mengancam kedudukan Inggris di sepanjang pantai barat Sumatera, termasuk juga di Singkil. Di samping itu, kehadiran armada Amerika di Sumatera juga mengancam kedudukan Inggris. Untuk menjamin kepentingan dagang, Inggris melakukan pendekatan keagamaan. Untuk itu pada tahun 1817, diangkatlah Charles Halhead yang fasih berbahasa Arab sebagai Residen Inggris yang baru di Tapanuli. Setelah 5 (lima) tahun memerintah sebagai Residen, ia meninggal dunia karena sakit.
Selanjutnya kegiatan dagang di sepanjang pantai barat pulau Sumatera semakin hari semakin ramai. Lebih-lebih setelah kapal-kapal dagang Perancis dan India juga ikut meramaikan pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut. Walaupun kapal-kapal asing dari berbagai negeri hilir mudik di di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera, tetapi para penguasa daerah Singkil lebih memilih bangsa Amerika untuk menjual hasil buminya karena mereka bersedia membeli dengan harga mahal. Pada suatu waktu, ada pedagang Amerika yang melakukan penipuan. Hasil bumi yang telah diserahkan oleh orang Singkil tidak dibayar. Rakyat marah dan menyita sebuah kapal Amerika Frienship asal Salem dan membakarnya di Kuala Batu. Kejadian tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Amerika Serikat dengan mengirim kapal perang Potomac pada tahun 1831. Daerah Kuala Batu kemudian diserang dan dijadikan lautan api.
Pascainsiden tersebut, persaingan perdagangan di daerah Sumatera semakin ketat. Dari tahun ke tahun jumlah armada dagang dari berbagai negara semakin meningkat. Sejauh itu, hanya Inggris dan Belanda yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Untuk menghindarkan peperangan, kedua negara tersebut melakukan kesepakatan untuk menandatangani Traktat London. Adapun isi dari traktat tersebut yaitu Inggris harus menyerahkan kekuasaannya di daerah-daerah Belanda di Indonesia yang pernah direbutnya dahulu. Sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan seluruh Semenanjung Melayu ke tangan Inggris[12].
Perjajinan itu sangat memberatkan Inggris. Menurut anggapannya, daerah Singkil dan Barus merupakan daerah miliknya yang telah diperolehnya sejak lama dengan susah payah. Jadi logis kalau Inggris yang menduduki daerah tersebut tidak rela jika harus menyerahkan begitu saja kepada Belanda. Di sisi lain, penyerahan pulau Sumatera oleh Inggris kepada Belanda juga sangat menyakitkan kesultanan Aceh. Mengingat Belanda selalu berusaha menghilangkan pengaruh Aceh dan menguras kekayaan yang ada.
Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799[13], seluruh aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih ke tangan Pemerintah Koloniall Belanda.
Kerajaan Aceh merasa terusik jika Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera Timur dan Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk mehambat arus ekspansi Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha melemahkan armada dagang Belanda. Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan membiarkan para bajak laut melakukan perompakan dan perampasan kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat Malaka dan peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin oleh Sidi Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai oleh Kerajaan Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng Belanda di Fort Tapanuli. Mereka ditugaskan untuk menghancurkan persediaan senjata dan peralatan perang milik Belanda yang disimpan di gudang-gudang amunisi di benteng Poncan tersebut.
Penyerbuan kapal-kapal perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier (daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda. Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839, Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.[14]
Tindakan Belanda tersebut membuat Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari Perancis agar dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas daerah kekuasaan di Pantai Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari permintaan Sultan Aceh tersebut, pada tahun 1843 Pemerintah Perancis mengirim armada kapal perang La Fortune yang dipimpin langsung oleh La Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut hanya untuk melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda[15]. Adapun kawasan Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri).
Kekuasaan yang dilakukan VOC (Kompeni) Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan penyelenggaraan pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada penuntutan penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya terhadap VOC (kompeni) Belanda.
Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.[16]

B. Zaman Hindia Belanda

Nasib kumpeni Belanda dalam abad XVIII mencerminkan kejadian-kejadian di Eropa. Perdagangan laut Belanda di Eropa menderita kerugian besar, karena negara-negara besar lainnya dengan bantuan proteksi memajukan perdagangannya sendiri. Di Eropa Inggris mendapatkan kekuasaan terbesar di laut. Hal itu mempengaruhi juga keadaan di Indonesia. Setelah tahun 1700 sebagian besar dari perdagangan luar negeri kumpeni runtuh. Setelah tahun 1750 berakhirlah kebesaran kumpeni. Dalam tahun 1784, setelah peperangan Inggris yang keempat dengan Belanda, maka ia harus memberikan kebebasan berlayar di Indonesia kepada Inggris. Masa monopoli telah berlalu. Pimpinannya makin lama makin buruk, pembukuannya tidak baik dan korupsi meraja lela di antara pegawai-pegawainya.[17] Octrooi VOC berakhir pada akhir tahun 1798. Setelah dinyatakan bangkrut, pada tanggal 31 Desember 1799, VOC Belanda dibubarkan. Namun demikian, masa kumpeni baru di tutup setelah datangnya Daendels pada tahun 1808[18].

Setelah Pemerintah antara Inggris (1811-1816), maka kekuasaan koloniall Belanda dipulihkan kembali di bagian-bagian luar Jawa yang dahulunya masuk daerah kumpeni.

Inggris dibawah kepemimpinan Raffles menetap di Bengkulu yang sejak sebelum tahun 1800 telah mereka duduki. Kemudian ia melakukan perjuangan diplomasi untuk mendesak pengaruh Belanda di Indonesia sebelah barat dan untuk memperbesar pengaruh Inggris. Hasil permanen dari kegiatan itu yaitu tertanamnya kekuasaan Inggris di singapura, yang kemudian maju dengan cepat dan tumbuh menjadi bandar besar di Selat Malaka.

Menurut perjanjian London 1824, Bengkulu harus diserahkan Inggris kepada Belanda dan Belanda menyerahkan hak-haknya atas Semenanjung Malaya dan Singapura.[19]

Mengenai pengaruh kolonial Belanda di Singkil, dapat kisahkan sebagai berikut. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari seorang pengamat Belanda yang bernama W.L. Rittel, dapat diketahui bahwa raja-raja Singkil dari suku Pak-Pak yang tadinya beragama Hindu, setelah takluk kepada Kesultanan Aceh, ia menyatakan diri untuk memeluk agama Islam. Dikatakan juga bahwa masyarakat singkil pada waktu itu berjumlah 10.000 (sepuluh ribu) orang. Sedangkan hubungan masyarakat singkil dengan daerah di sekitarnya termasuk juga dengan orang-orang dari suku Pak-Pak di pedalaman yang belum memeluk Islam digambarkan sangat baik dan ramah[20].

Salah seorang raja dari Kerajaan Batu-Batu yang bernama Sultan Daulat secara terang-terangan menentang kehadiran Belanda di daerahnya. Belanda marah dan mengirim pasukan perang untuk menghukum Raja Batu-Batu tersebut. Perang Kerajaan batu-Batu melawan Belanda berawal dari kedatangan perutusan Belanda kepada Sultan Daulat untuk meminta bahwa Kerajaan Batu-Batu supaya tunduk kepada Belanda. Sultan Batu menolak dengan tegas, bahkan mengancam kepada utusan tersebut dengan mengatakan “Sampaikan kepada Belanda, berapapun jumlah mereka yang datang, saya tidak akan menyerah. Orang Islam tidak pantas tunduk kepada orang kafir”.[21] Bahkan Sultan memberikan isyarat kepada utusan Belanda tersebut, dengan memberikan dua liter biji-bijian lenga sebagai tanda bahwa Sultan Daulat pantang menyerah.

Perlakuan Sultan terhadap utusannya tersebut dianggap Belanda sebagai penghinaan dan menantangnya dengan perang. Dalam pertempuran tersebut, Belanda melakukan taktik pengepungan, dengan cara pasukan Belanda dibagi dalam 4 front pertempuran. Kerajaan Batu-Batu dikepung dari segala arah. Dengan cara ini diharapkan kemenangan dapat segera diraih. Namun strategi Kerajaan Batu-Batu juga tidak kalah hebatnya, terutama dalam menghadapi setiap serangan Belanda. Pasukan Belanda yang datang dari Muara Batu-Batu dihadang. Kapal-kapal perang Belanda yang menyusuri sungai tertimpa pohon-pohon besar yang berjajar di tepian sungai yang sebelumnya memang sudah disiapkan untuk menghantam musuh. Pohon-pohon yang telah dipotong, ditahan dengan seutas tali dan diikat ke pohon lain. Setiap pohon dijaga oleh seorang pasukan kerajaan Batu-Batu. Ketika perahu Belanda lewat, seutas tali penahan diputuskan.

Belanda kemudian mengubah strategi perang. Penyerbuan tahap kedua, Belanda melakukan penyerangan dari arah daratan. Akhirnya Belanda dapat melalui beberapa jebakan dengan selamat sampai ke benteng Kerajaan batu-Batu. Pertempuran sengit terjadi. Setelah benteng tersebut berhasil dibakar oleh Belanda, pasukan Kerajaan Batu-Batu mulai terdesak.

Benteng tersebut dibangun selama satu tahun yang dikerjakan sebelum Belanda datang. Benteng tersebut sengaja dipersiapkan oleh Sultan Daulat untuk menghadapi Belanda. Pembangunannya dikerjakan oleh rakyat dari empat kampung, yaitu Kampung Pulau Belem, Kampung Pulau Dedep, Kampung Sarah dan Kampung Jambi. Setiap kampung harus dapat menyelesaikan satu buah benteng. Adapun bahan yang dipakai untuk membuat benteng terdiri dari rotan, kayu, saga dan tanah[22].

Dari arah Barus, pada tahun 1896 Belanda memasuki wilayah Singkil yang sebelumnya mengirim seorang utusan bernama Loncek. Utusan itulah yang kemudian mempromosikan, bahwa Belanda sebagai juru damai dapat dari raja dan segenap rakyat dari Kerajaan Batu-Batu. Di samping itu, mereka juga menjanjikan akan membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara kerajaan-kerajaan yang ada di Sumatera.

Melihat etikat baik Belanda, sebagian besar raja-raja dari kerajaan yang ada di Singkil tidak keberatan menerima kehadiran Belanda. Namun demikian, ada juga yang tidak setuju. Mereka itu yaitu raja-raja yang berada di wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri serta Sultan Daulat dari Kerajaan Batu-Batu yang tidak senang terhadap kehadiran Belanda yang dianggapnya sebagai Kafir.Adapun alas an ketidak senangannya yaitu : pertama, karena perbedaan agama dan keinginan yang selalu ingin menjajah. Sultan Daulat sudah mengetahui bahwa kehadiran Belanda di negerinya hanya ingin menjajah dan bukan untuk bekerja sama. Hal tersebut dapat ia dengar sendiri dari Sisingamangaraja ketika melakukan kunjungan balasan ke sana. Ketika itu Sultan Daulat memohon izin untuk pulang, namun dicegah oleh Sisingamangaraja. Kata Sisingamangaraja kepada Sultan Daulat : “Sebaiknya tinggallah di negeriku ini, kita nanti dapat melawan belanda bersama-sama. Apabila baginda pulang, Belanda akan menaklukkan kita dengan mudah”.[23]

Tawaran Sisingamangaraja tersebut ditolak oleh Sultan Daulat. Beliau berkeyakinan bahwa Kerajaan Batu-Batu beserta rakyatnya dapat mengalahkan Belanda. Oleh karena itulah maka sejak kehadiran Belanda, Sultan Daulat melakukan penataan pasukan kerajaan. Mobilisasi tentara dilakukan. Setiap orang yang sudah berumur 18 sampai 40 tahun dibina secara militer. Upaya memperkuat pertahanan tersebut kemudian diketahui oleh Belanda. Pihak Belanda kemudian berupaya melakukan pencegahan. Dengan alas an demi keamanan di daerah Singkil, setiap orang yang memiliki senjata harus diserahkan kepada Belanda.

Maksud yang tersembunyi yang dilakukan Belanda tersebut akhirnya juga diketahui oleh Sultan Daulat. Ia mengerahkan segenap pasukan untuk mengambil alih senjata-senjata dari pemiliknya.Sultan Daulat bahkan meminta bantuan kepada Raja dari Kerajaan Kuta Bahari dan raja dari Kerajaan Gala-Gala supaya menyerahkan senjata kepada kerajaan Batu-Batu. Kedua raja tersebut berkeyakinan bahwa apabila persenjataan diserahkan kepada Belanda, maka akan menjadi bumerang. Upaya diplomasi raja Batu-Batu yang gigih tersebut akhirnya membuahkan hasil. Persenjataan yang dimiliki menjadi semakin banyak. Kenyataan ini semakin membuat Sultan Daulat yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkan Belanda[24].

Ternyata keyakinan sultan tersebut tidak menjadi kenyataan. Benteng yang dibangun pada tahun 1896 hingga tahun 1900 memang sangat kukuh dan dilengkapi dengan peralatan tempur yang memadahi yang oleh Sultan sendiri dinilai sangat kuat. Semula Belanda kesulitan dalam merebut benteng tersebut. Namun dalam penyerbuannya yang kedua, Belanda berhasil merebut benteng tersebut dan kemudian meluluh lantakkan. Walaupun penyerbuan Belanda dari arah Singkil mendapat kemenangan, Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Kutaraja kurang berkenan karena penyerangan itu dilakukan dengan cara menyimpang dari petunjuk dan melanggar perintah yang sebenarnya. Atas pelanggaran yang dilakukan tersebut, pemerintah Belanda kemudian memberikan hukuman gantung kepada komandan pasukan yang ditugaskan di singkil[25].

Dihancurkannya benteng Batu-Batu bukan berarti perjuangan Sultan Daulat telah berakhir. Semangatnya untuk melawan penjajahan Belanda semakin menyala-nyala. Mengingat dirinya telah berusia lanjut, maka beliau menyerahkan pimpinan kerajaan kepada adiknya yang bernama Raja Ubing. Ia kemudian memmpin pasukan perang untuk menyerang Belanda dengan cara bergerilya. Mengingat sulitnya memadamkan perlawanan gerilya, Pemerintah Belanda kemudian menawarkan perdamaian. Kedua belah pihak akhirnya menyetujui diadakannya perundingan di markas Belanda di Kutaraja. Dalam perundingan tersebut, Sultan Daulat bersedia damai dengan syarat Belanda bersedia membangun mesjid yang berukuran 8 X 10 meter, membangun rumah berukuran 25 X 15 meter lengkap dengan perabotnya dan melepaskan orang-orang singkil yang ditawan. Dalam pertemuan tersebut, pada prinsipnya Belanda mengabulkan permintaan Sultan Daulat.[26]

Setelah ditunggu selama dua tahun, ternyata Belanda tidak memenuhi janjinya. Kesediaannya untuk membangun rumah dan mesjid tidak direalisir. Merasa ditipu, Sultan Daulat kemudian memutuskan untuk melakukan perang gerilya lagi. Melihat kenyataan tersebut, Belanda kalang kabut. Untuk meredam perlawanan, akhirnya Belanda memenuhi janjinya dengan harapan raja-raja dari Kerajaan Batu-Batu tidak melakukan pemberontakan.

Pada tahun 1912, Sultan Daulat digantikan oleh putranya yang bernama Raja Kamaruddin. Pada saat itulah Belanda kemudian menduduki Kerajaan Batu-Batu. Hal itu dilakukan karena anaknya yang menggantikan kedudukannya sebagai raja sudah tidak segarang ayahnya dahulu. Karena beliau tidak mempunyai keturunan, maka setelah beliau mangkat, beliau digantikan oleh Zainal Abiddin Sambo, anak dari adik kandungnya yang bernama Raja Ubik atau Raja Ubing.

Agresi militer Belanda di singkil yang dilakukan melalui Perang Batu-Batu, menyebabkan wilayah Singkil jatuh ketangan Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan demikian, Singkil menjadi wilayah yang diperintah langsung (Gubernemen Gebied) seperti yang dilakukannya di Aceh Besar, sebagai daerah yang berhasil dikuasai Belanda melalui peperangan. Belanda kemudian mendirikan pemerintahan di singkil. Pada tahun 1903-1908 landschap Trumon dimasukkan dalam wilayah onderafdeling Singkil.[27]

Secara administrative, Pemerintah Kolonial Belanda membagi Karesidenan Aceh menjadi dua wilayah yang disebut rechtreeks bestuur gebied (daerah yang diperoleh oleh Belanda melalui perang). Kepala Pemerintahan disebut distrikhoofd dan daerah taklukan atau zelfbestuur gebied, juga disebut landschap (swapraja), yang dikepalai oleh zelfbestuurder. Onderafdeling Singkil pada waktu itu dimasukkan ke dalam Onderafdeling Zuidelijk Aceh Landschappen, yang terdiri dari distrik Singkil, Simpang Kanan, Simpang Kiri dan Onderafdeling Banyak Einlanden (Pulau Banyak).Distrik Hoofd Singkil adalah Datuk A. Murad, Simpang Kanan oleh T. Raja Hidayo, Simpang Kiri oleh Ruhum dan Onder Distrik Pulau Banyak oleh Raja Alamsyah. Controleur onderafdeling Singkil pernah dipegang oleh A.J. Piekaar.[28]

Dalam kurun waktu dari tahun 1861 sampai dengan tahun 1907, Pemerintqah Belanda menetapkan wilayah Singkil berada dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Belanda berhak mengatur system perekonomian di Singkil dan berhak membuka perkebunan di daerah tersebut. Untuk mempermudah pengawasan di Singkil dalam menjalankan pemerintahannya, maka Pemerintah Kolonial Belanda atas perintah komandan tentara Belanda di Kutaraja menugaskan kepada Pootman sebagai Residen yang sekaligus diperbantukan kepada KNIL yang memegang pemerintahan militer selama Pemerintah Sipil belum terbentuk. Dinyatakan bahwa wilayah Singkil tunduk kepada Gubernur Militer Aceh yang berkedudukan di Kutaraja. Hal tersebut ditetapkan pada tahun 1905 dengan Stbl. No.440.

Sesuai dengan laporan politik yang dibuat oleh Controleur J.C. Tigelman pada tanggal 15 Nopember 1941, bahwa wilayah Singkil dibagi menjadi 4 (empat) jabatan districthoofd dan 16 onderdistricthoofd, yaitu district Beneden Singkil terdiri dari Onderdistrict Benaden Singkil adalah Datuk A. Murad, Onderdistrict Rantau Gadang, Onderdistrict Teluk Ambon, dan Onderdistrict Paya Bumbungoleh Raja Maholi. Distrik Simpang Kanan terdiri dari Onderdistrict Tanjung Masoleh Datuk Mambon, Onderdistrict Belegen, Onderdistrict Combih oleh Datuk Ruhum, Onderdistrict Kota Baruoleh Raja Baharu, Onderdistrict Tualang oleh Raja Gontar, Onderdistrict Pasir Belo oleh Raja Yusuf, serta Onderdistrict Batu-Batu oleh Raja Kamaruddin.District Banyak Einlanden oleh Sutan Umar, terdiri dari Onderdistrict Pulau Tuanku oleh Datuk Somik dan Onderdistrict Pulau Delapan oleh Datuk Badiaga.[29]

Setelah kekuasaan Belanda di singkil sudah cukup mantap, maka Pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk memajukan perekonomian rakyat. Sawah-sawah penduduk yang di musim kemarau mengalami kekeringan, mendapat perhatian dari Pemerintah Belanda dengan melakukan pembangunan saluran irigasi. Di sisi lain Pemerintah juga memberikan pinjaman lunak kepada petani melalui bank desa milik Pemerintah. Maka dapat dikatakan bahwa pada zaman Belanda ini perkembangan ekonomi masyarakat singkil cukup baik. Dari tahun ke tahun produksi beras terus meningkat. Tahun 1936 produksi beras petani di singkil mencapai 1120 ton. Selanjutnya pada tahun 1937 produksi beras meningkat menjadi 1364 ton. Tahun 1938 menghasilkan 1094 ton beras, tahun 2939 meningkat lagi menjadi 703 ton beras, dan pada tahun 1940 menghasilkan 771 ton beras.
Pemerintah Belanda juga memperhatikan peningkatan hasil bumi dari sektor perkebunan, khususnya dalam hal produksi kopra. Dari tahun ke tahun produksi kopra di singkil cenderung meningkat. Hasil kopra di Pulau Banyak pada tahun 1936 sebesar 454 ton, naik menjadi 465 ton pada tahun 1937.

Karena adanya serangan hama artona pada pohon kelapa, maka produksi kopra di Singkil mengalami penurunan. Pada tahun 1938 sedikit mengalami penurunan, yaitu hanya mencapai 420 ton. Tetapi karena ganasnya hama artona pada pohon kelapa, maka untuk tahun-tahun berikutnya, produksi kopra semakin turun. Tahun 1939 turun menjadi menjadi 405 ton kopra. Dan pada tahun 1940 semakin merosot menjadi 170 ton kopra.

Mengingat di daerah Singkil tanahnya sangat cocok untuk ditanami karet, maka Pemerintah Belanda berusaha untuk mengembangkan perkebunan karet di daerah Simpang Kanan dan Simpang Kiri. Berkat usaha yang sungguh-sungguh di bidang perkebunan ini, maka produksi karet di Singkil dari tahun ke tahun terus meningkat tajam. Tanaman karet yang dihasilkan di Simpang Kanan pada tahun 1936 mencapai 14.000 kilo gram, pada tahun 1937 mencapai produksi 165 kilo gram, tahun 1938 menghasilkan 30.000 kilo gram, pada tahun 1939 naik menjadi 50.000 kilo gram, tahun 1941 mencapai 136.000 kilo gram.[30]

Daerah Singkil juga kaya akan produksi damar. Pada tahun 1936, produksi damar mencapai 166 ton, tahun 1937 naik menjadi 247 ton, tahun 1938 sebanyak 189 ton, tahun 1939 mencapai 132 ton dan tahun 1940 naik menjadi 178 ton. Adapun budi daya nilam juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1940 hasil nilam yang diusahakan di daerah Pasir Belo mencapai 48 ton daun nilam dan 458 liter minyak nilam.

Untuk memenuhi kebutuhan gula, Pemerintah Belanda membuka perkebunan tebu dengan cara menyewa sawah ladang penduduk untuk ditanami tebu. Untuk memudahkan pengairannya, Pemerintah menanam tebu di daerah yang dekat dengan aliran sungai. Di sepanjang aliran sungai itulah tanaman tebu diusahakan. Pada tahun 1940 produksi tebu yang dihasilkan mencapai sekitar 700 kilogram manisan tebu[31].

Mantapnya pemerintahan kolonial Belanda di Singkil, telah mendorong para pemilik modal asing untuk membuka perkebunan di Singkil. Perkebunan asing terdiri dari Perkebunan Lae Butar yang membuka usahanya seluas 3.441 Ha berdasarkan SK Gv. V. A. On tanggal 12 Juni 1929 No. 555/18. Kemudian Perkebunan Rimau membuka usaha di tanah Singkil seluas 3.375 Ha berdasarkan SK Gv. V. A. On tangga l3 Februari 1931 No. 131/18. Pabrik yang dibangun Lae Butar seluas 15 Ha, pada tanggal 20 April 1938 No.49/Agr/10, dan perkebunan Silabuhan sebanyak 3.175 Ha tanggal 30 September 1940 No. 164/Agr/10. Dalam rencana semula saham Amsterdam akan ditanamkan semenjak tahun 1938 hingga tahun 1940 sekitar 50.000 Ha di Simpang Kiri.[32]

Di bidang pertambangan dan perminyakan, Kepala Jawatan Pembangunan Belanda telah menetapkan kepada Persekutuan Minyak Belanda pada tanggal 23 September 1938 No. 5319-5340.5341 dan 5345. Pada tanggal 5 Desember 1938 No. 6716, memberikan kembali izin untuk memperpanjang pembuatan pembangunan tambang yang terletak di Barat Daya garis perjalanan Sigrun Pasir Belo di seberang pangkalan Sulampi ditetapkan sebagai daerah pertambangan minyak. Setelah itu ditambah dengan daerah di Lae Baro kemukiman Muara Batu-Batu, Simpang Kiri dan sungai Tulale kemukiman Haloban, Pulau Banyak.[33]

Adapun tambang emas, banyak diusahakan oleh Pemerintah Belanda di daerah Lae Baro kemukiman Muara Batu-Batu, Simpang Kiri dengan sungai Tulale kemukiman Halabandi Sungai Dingin Pulau Banyak. Selanjutnya kapur barus diusahakan di daerah Blagan, Simpang Kiri dan Pulau banyak di Gunung Pelangganan Pulau banyak. Produksi marmer digali dari Sungai Luar Tulale kemukiman Halaban yang terletak di gunung Tiusa Pulau Banyak. Di samping yang disebutkan di atas, masih banyak lagi hasil bumi yang diperdagangkan, seperti daun nipah, kayu broti Jawa, rotan jari dan elbano, cengkih dan damar.[34]

Daerah singkil yang kaya akan hutan tropis dan tanahnya sangat subur dengan penduduk yang belum begitu banyak, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai daerah perkebunan dan pertanian. Daerah-daerah yang meliputi Tanah Baro, Senggersing, Langkit, Penanggalan, Sianjo-Anjo, Belegen, Bulusemah, Pangkalan Sulampi dan Selatong merupakan daerah yang sangat baik untuk zona pertanian, apalagi jika ditunjang dengan pembangunan saluran irigasi yang baik.

Perikanan laut merupakan salah satu mata pencaharian yang sangat vital bagi masyarakat yang bermukim di wilayah sepanjang pantai. Sedangkan mereka yang tinggal di sepanjang alur sungai Singkil dan sungai-sungai lain yang ada di Singkil juga menggantungkan hidupnya dengan menangkap ikan di sungai. Adapun perairan yang sangat kaya akan hasil ikan adalah perairan yang membentang sepanjang pantai yang dilalui alur sungai. Kita semua tahu bahwa Sungai Singkil yang sangat panjang dan berhulu di Gunung Leuser dan Dairi, membawa banyak makanan ikan ke laut, sehingga tidak mengherankan jika perairan di daerah tersebut sampai ke Pulau Banyak kaya akan hasil ikan. Adapun ikan yang dihasilkan di daerah itu adalah ikan tuna, ikan tui, ikan teri, segala jenis udang seperti udang sabu, udang lopster dan udang windu serta berbagai jenis hasil laut lainnya.[35]
Sebagai daerah yang memiliki keindahan alam dan panorama laut yang mempesona, membuat daerah ini dapat dikembangkan sebagai daerah wisata alam dan wisata bahari. Pulau Banyak yang dikelilingi pulau-pulau kecil dengan terumbu karangnya mampu memikat para wisatawan untuk berlama-lama tinggal di daerah tersebut.Taman laut yang indah disertai adanya satu pulau yang khusus didiami oleh penyu yang menghasilkan telur penyu, sehingga sangat baik untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Tidak mengherankan jika Pemerintah Belanda mulai mengembangkan daerah tersebut sebagai daerah wisata, baik wisata alam maupun wisata bahari.

Untuk meningkatkan perekonomian dan melancarkan arus transportasi laut, Pemerintah belanda membangun beberapa pelabuhan, seperti Pelabuhan anak laut yang terletak dalam delta yang aman dari gangguan laut. Di samping itu, Pelabuhan Anak Laut juga dapat dijadikan sebagai pelabuhan transit antar daerah yang akan memperlancar arus barang dan jasa dari Singkil ke daerah-daerah lain di Nusantara.

Waktu itu Singkil merupakan daerah yang masih disatukan dengan wilayah Aceh barat. Asisten Residen Aceh Barat yang bernama B. J. Kuik, pada tanggal 30 Agustus 1940 memerintahkan, bahwa dalam memperbaiki pemerintahan setempat, seperti kekuasaan raja-raja, keuangan, adat-istiadat dan perundangan tidak boleh dilakukan oleh orang pribumi, tetapi harus langsung di bawah kekuasaan controleur yang berkedudukan di Singkil.[36]

C. Pedagang dan Barang Dagangan

Wilayah Nusantara berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Pada abad XV Malaka merupakan salah satu pintu gerbang untuk masuk ke wilayah Nusantara. Perairan selat Melaka merupakan prasarana jalur pelayaran perdagangan, terutama bagi pedagang-pedagang Eropa untuk memperoleh rempah-rempah. Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis di abad XVI menyebabkan para pedagang Islam yang biasa berdagang di Malaka menyingkir ke wilayah Kerajaan Aceh dan menyusuri pantai Barat Sumatera.

Peralihan kegiatan perdagangan ke Kerajaan Aceh menyebabkan pusat perdagangan berada di Aceh. Perkembangan jalur perdagangan di wilayah Aceh menyebabkan pula berkembangnya kota-kota pelabuhan di pantai Barat Sumatera. Pada waktu itu Kerajaan Aceh menguasai perdagangan di pantai barat Sumatera. Kota-kota pelabuhan yang berada di pantai Barat Sumatera ini antara lain adalah Singkil, Barus, Sibolga, Natal dan Emma Haven (Teluk Bayur).[37]

Secara fisik, Bandar Barus dan Singkil pada waktu itu memang hanya dapat untuk berlabuh kapal-kapal yang relatif kecil dan dalam jangkauan pelayaran antar pulau. Akan tetapi, secara ekonomi Bandar Barus merupakan tempat pertukaran barang-barang antara daerah pedalaman dan daerah seberang, baik daerah-daerah di wilayah nusantara maupun dengan daerah-daerah di luar negeri, seperti Gujarat, India, Arab, Persia dan Eropa. Oleh karena itu, untuk memahami aktifitas ekonomi Bandar Barus juga harus dipahami pula hubungan ekonomis antara pelabuhan dengan daerah-daerah pedalaman yang mengitarinya termasuk Singkil.

Sebagai Bandar tua, Barus dan Singkil mendapatkan kunjungan dari berbagai suku bangsa yang berasal dari berbagai negeri. Dari mereka yang berkunjung, ada yang menetap sementara ada pula yang menetap untuk selama-lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perkampungan orang-orang asing di kota Barus, di antaranya yaitu perkampungan orang Arab, India, Cina, Portugis, Belanda, Inggris dan berbagai etnis lokal seperti Melayu, Minangkabau, Bugis, Aceh, Jawa dan Sunda.[38]

Bangsa-bangsa pendatang selain bertujuan untuk berdagang, juga melakukan misi agama yang dianutnya seperti orang India menyebarkan agama Hindu, Portugis, Belanda dan Inggris menyiarkan agama Katolik dan Kristen Protestan, orang Cina menyebarkan agama Budha/Kong Hu Chu dan orang Arab menyiarkan agama Islam.

Selain kapur barus dan kemenyan, Bandar Barus juga menghasilkan damar, rotan, kayu cendana, gading gajah, kulit manis, dan merica.[39] Pedagang Tamil memonopoli kapur barus dan kemenyan. Menurut beberapa informasi, kedua barang itu digunakan juga di Mesir untuk pembalseman mayat raja-raja untuk diawetkan menjadi mumi. Mereka pandai bergaul dan berdagang dengan orang pribumi.

Pencarian kapur barus juga dikaitkan dengan hal-hal gaib. Pohon kapur barus diyakini sebagai tempat tinggal makhluk halus.[40] Pohon kapur barus tumbuh di hutan belantara Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan. Kawasan hutan Sumatera Utara yang ditumbuhi pohon kapur barus adalah Maduamas, Barus dan di sebelah barat lembah Cenendan, Pak-Pak Dairi. Lebih ke utara dari Bandar Barus juga terdapat hutan penghasil kapur barus yakni daerah pedalaman Singkil. Kapur barus yang dikeluarkan dari Cenendan dan Singkil dibawa ke Bandar Barus untuk dijual kepada pedagang asing. Bandar Barus menjadi satu-satunya kota dagang yang menyediakan kapur barus di nusantara ketika itu, sehingga kota Bandar itu terkenaal sebagai tempat kapur barus.

Jenis kapur barus yang tumbuh di Maduamas dan Cenendan adalah Dryobalops camphora, yang baik mutunya. Sebagai penggantinya, diciptakan kapur barus sintetis, namun bahan bakunya tetap dari pohon suya. Kapur barus yang terdapat di Singkil adalah jenis Dryobalops aromatika, yang lebih dikenal sebagai “Kapur Singkil”. Jenis ini juga terdapat di pedalaman Kalimantan. Kapur ini berwarna kehitaman dan banyak digunakan untuk sesajian. Jika getah pohon suya dicampur dengan paralin menghasilkan pernis yang baik. Balsem yang berasal dari kapur barus dapat mengobati encok dan flu. Bentuk pohon kapur barus menjulang tinggi sampai 40 meter. Kendala yang dihadapi oleh pencari kapur barus adalah hutan belantara, binatang buas dan biaya yang besar. Dalam pencarian barang komoditi itu biasanya dilakukan secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang yang “dituakan” (Bona Hayu).[41]

Kapur barus sudah dikenal oleh pedagang Arab, Mesir dan Timur Tengah lainnya sejak abad XVII. Selain untuk membalsem mayat raja-raja di mesir dan Afrika, kapur barus juga digunakan untuk bahan baku obat-obatan dan parfum. Konon kabarnya Raja Mesir Ramses II dibalsem dengan kapur barus untuk dijadikan sebagai mumi. Kapur barus adalah getah dari pohon suya. Jika getah itu sudah kering akan menyerupai manik-manik. Setiap pohon suya mengandung kadar getah yang berbeda, ada yang banyak, ada yang sedikit. Pencari kapur barus mempunyai kepercayaan tentang larangan dan pantangan dalam cara mencari pohon bergetah itu. Sebelum kapur barus dicari di dalam suatu hutan (istilah penduduk Tapanuli Martodung), terlebih dahulu diadakan sesajian untuk melakukan persembahan kurban berupa hewan. Kurban dipersembahkan kepada penjaga hutan yang disebut Begu Sombahon, yaitu sebangsa jin yang konon menurut kepercayaan mereka minta persembahan. Hewan yang dijadikan sebagai persembahan biasanya ayam, kerbau, kambing dan sebagainya sesuai dengan permintaan Begu Sombahon. Adakalanya permintaan tersebut di luar kebiasaan, yaitu meminta persembahan berupa anak manusia. Jika permintaan tidak dikabulkan akan menimbulkan bahaya bagi pencari kapur barus. Agar mereka tidak mendapat bahaya di tengah hutan, maka pencari kapur barus berusaha mencari anak manusia dengan cara menculiknya ke kampung (Huta) tetangga. Setelah seorang anak didapatkan, kemudian dibawa ke dalam hutan dan ditinggalkan seorang diri sehingga dimangsa oleh binatang buas. Pada abad XIX kebiasaan mengorbankan anak manusia telah ditinggalkan karena ada larangan dari Pemerintah Hindia Belanda dan Missi Zending di Tapanuli.[42]
Menurut Jane Drakard, sekitar abad XVII pohon barus dan rumpun (perdu) kemenyan tumbuh di daerah perbukitan, antara dataran rendah di sepanjang pesisir dan dataran tinggi Toba. Damar dipungut oleh beberapa kelompok etnis Batak dan diangkut ke bandar di pesisir. Barang komoditi itu ada kalanya dicari langsung oleh para pedagang perantara yang tinggal di pesisir dan ditukarkan dengan alat kebutuhan penduduk di pedalaman. Kapur barus yang berasal dari Maduamas dan Cenendan lebih putih dan wangi. Pedagang Cina, Arab, dan India membeli kapur barus dan diperdagangkan kembali di negeri masing-masing.[43]

Kegiatan ekonomi di Bandar Barus dan sekitarnya termasuk Singkil adalah bagian dari dunia perdagangandan pelayaran pantai barat pulau Sumatera pada masa lalu. Pada zaman kolonial, Pemerintah Belanda memasukkan kawasan itu menjadi bagian dari Wilayah Sumatra’s Weskust, yang meliputi wilayah Padang Bovenlanden (Padang Darat), Padang Benedenlanden (Padang Pesisir) dan Tapanoeli (Tapanuli).[44]

Sebelum pedagang asing datang , terlebih dahulu ada kecenderungan perdagangan antar Bandar di sepanjang pantai barat sumatera. Raja-raja yang menguasai daerah Barus, para pemilik kapal, nahkoda dan penduduk pelabuhan terlibat langsung dalam perdagangaan. Mereka menjadi perantara bagi pedagang asing dan pedalaman. Sebagai pedagang perantara, mereka dapat memberikan kemudahan dalam berkomunikasi antara pedagang asing dengan penduduk pedalaman yang menjadi produsen hasil hutan. Pedagang pantai bersikap lebih terbuka dan lebih berani dari pada penduduk pedalaman dalam menanggung resiko kerugian. Keberanian dalam menanggung resiko dan gebrakan dalam pelayaran yang berbahaya membuatnya berjiwa entrepreuner, yaitu munculnya seorang atau lebih dalam masyarakat sebagai pengusaha yang menjadi pioneer dalam perdagangan. Mereka merupakan innovator, penanggung resiko, memiliki visi ke depaan, dan memiliki ciri keunggulan dalam berusaha.[45] Jiwa itulah salah satu keunikan kegiatan perdagangan di kawasan pantai barat Sumatera selama abad XVIII dan XIX. Sistem niaga melalui para pedagang pantai kadang-kadang menimbulkan keuntungan yang tidak seimbang antara pedagang di pedalaman atau penghasil dan pedagang di Bandar, sebab keuntungan yang besar tetap berada di tangan pedagang pantai. Pedagang pantai mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dan pedagang pedalaman memperoleh laba yang tidak setimpal. Tidak sedikit di antara para pedagang pantai yang akhirnya menjadi kaya raya dengan memiliki beberapa buah kapal layar. Peran pedagang pantai tidak hanya sebagai pedagang keliling, tetapi juga sebagai pioneer yang telah memungkinkan pertukaran barang komoditi antara Bandar satu dengan Bandar yang lainnya. Hubungan antara pantai dan pedalaman termasuk Singkil telah terjalin dengan erat, sehingga dapat menumbuhkan kerja sama yang saling menguntungkan dalam sirkulasi barang-barang komoditi. Pelabuhan Barus memberikan fasilitas tertentu kepada daerah pedalaman (Singkil), seperti perlindungan keamanan, sebagai pusat pemasaran bagi daerah belakang, pusat pemerintahan dan sebagainya. Barang impor yang ditangani oleh penduduk pantai dapat dinikmati oleh penduduk yang tinggal di daerah pedalaman.[46] Pedagang perantara membawa barang berupa sutra, candu, garam dan keramik ke daerah pedalaman. Barang tersebut kemudian ditukarkan dengan hasil hutan yang dimiliki oleh penduduk pedalaman. Setelah barang-barang yang dihasilkan dari hutan tersebut diperoleh, kemudian dibawa ke Pelabuhan Barus. Pedagang asing bertindak sebagai pembeli yang kemudian menimbunnya di gudang. Setelah ada kapal dari negerinya datang, barang-barang komoditi dari pedalaman tersebut diangkut dan dijual di negerinya sendiri.

Mata rantai pelayaran antara Bandar Singkil menuju Barus dan Bandar lainnya di perairan barat Sumatera merupakan suatu pelayaran estafet, sebab di setiap Bandar telah menunggu kapal yang akan menampung setiap muatan yang datang dan kemudian diteruskan ke Bandar berikutnya. Adapun Bandar yang berfungsi sebagai tempat persinggahan adalah pelabuhan Susoh (Kuala Batu), Labuhan Haji, Meukek, Tapaktuan, Singkel, Barus, Sorkam, Sibolga, Batumundam, Tabuyung, Kukun, Natal, Batahan, Airbangis, Sasak, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bandar Sepuluh.[47]

Sebagai pusat perniagaan dan kota pelabuhan, Barus memberikan dampak kepada penduduk sekitarnya termasuk Singkil. Pedagang asing (India, Cina, Arab dan Belanda) yang datang membawa barang dagangan ke Barus tidak secara langsung menjual kepada para konsumen. Para pedagang asing ini menggunakan penduduk pribumi sebagai perantara untuk memudahkan berkomunikasi. Dapat diperkirakan pada masa itu banyak penduduk yang ikut aktif sebagai pedagang perantara. Tugas pedagang perantara ini membawa dan menukar barang-barang seperti kain sutra, candu, garam, dan keramik ke penduduk pedalaman. Sebaliknya, pedagang perantara ini bertugas mengumpulkan dan membawa produk pedalaman seperti kapur barus, lada, kemenyan, dan hasil hutan lainnya ke kota Barus. Pedagang asing yang berdiam di kota pelabuhan bertindak sebagai penimbun barang produksi daerah belakang dan diangkut jika kapal dagang dari negerinya datang.

Kapal-kapal Belanda dari perusahaan KPM (Koninlijke Paketvaart Matschapij) lalu lalang di Bandar Barus sekurang-kurangnya dua kali sebulan. Kapal tersebut berlayar melalui Aceh menyusuri pantai barat Aceh terus ke Singkil dan kemudian sandar di pelabuhan Barus. Setelah bongkar muat di pelabuhan Barus, kemudian melanjutkan pelayarannya ke Padang terus ke Jawa melalui Selat sunda.
Arus perdagangan dengan daerah pedalaman Singkil, Tapanuli, Simalungun, Toba dan Karo berkembang dengan pesat. Produk pedalaman yang berperan pada waktu itu adalah kopi. Selain itu, penduduk juga menghasilkan sayur-sayuran seperti kentang, wortel, kool dan tomat yang dijual untuk kebutuhan orang kota, terutama orang-orang Belanda. Sedangkan penduduk di daerah Toba banyak menanam kopi, padi dan mengumpulkan hasil hutan.

Masuknya pengaruh ekonomi Belanda secara tidak langsung mengenalkan cara bercocok tanam kopi secara moderen kepada penduduk setempat. Pada awalnya, penduduk hanya mementingkan pengumpulan hasil hutan sepeerti kapur barus, kemenyan, rotan, damar, gambir, indigo dan kayu. Tetapi setelah Belanda memperkenalkan cara bercocok tanam kopi, banyak penduduk/petani yang beralih profesi menjadi petani kopi, karena hasilnya dianggap lebih menguntungkan.
Sistem perdagangan Belanda membatasi hubungan antara penduduk pribumi dengan pedagang asing lainnya. Berdagang dengan bangsa asing harus mendapat izin dari Pemerintah belanda, karena monopoli perdagangan dipegang oleh Belanda. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada umumnya menekan kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan monopoli perdagangan dan pembayaran apajak.

Setelah mengalami kemajuan dan kemakmuran selama berabad-abad, Pelabuhan Barus dan Singkil secara berangsur-angsur mengalami kemunduran, seiring dengan munculnya Bandar baru di Sibolga, Teluk Bayur dan Belawan. Pada awal abad XX fungsi Barus sebagai kota dagang mulai berkurang. Semenjak kapan kemunduran ini dialami oleh kota Barus tidak dapat diketahui secara pasti. Kemunduran ini mungkin disebabkan beralihnya pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di Sibolga. Belanda pada akhir abad XIX, membangun kota Sibolga dengan berbagai fasilitas, termasuk pelabuhan. Hal ini mengakibatkan perubahan jalur pelayaran dan perdagangan di pantai barat Sumatera beralih ke kota Pelabuhan yang baru yaitu Bandar Sibolga.

Kapal-kapal hanya singgah di kota Barus dan Singkil , jika volume barang yang akan diangkut memenuhi syarat kapasitas palka (ruang barang) kapal. Jika tidak ada barang yang akan diangkut, kapal-kapal hanya melewati perairan Barus dan Singkil tanpa sandar di pelabuhan. Walaupun demikian, pelabuhan Barus masih disinggahi oleh pedagang antarpulau atau antarpantai sekitar Barus saja, tetapi jadwal pelayarannya sudah tidak menentu lagi.

Beralihnya pusat perdagangan ke Sibolga menyebabkan perwakilan dagang yang semula berada di Barus dan Singkil berpindah pula ke Sibolga. Dengan sendirinya daerah belakang yang semula menunjang kegiatan pelabuhan di Barus beralih pula menunjang kegiatan pelabuhan Sibolga.
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi perdagangan tidak tidak lagi merupakan kegiatan pokok penduduk Singkil, tetapi menurun menjadi kegiatan tambahan/sambilan. Sebagian besar para buruh mengalihkan kegiatan pokoknya menjadi nelayan, walaupun ada pula yang menjadi petani atau pedagang kecil, bahkan tidak sedikit yang pergi merantau mencari kerja ke daerah lain. Mereka yang beralih menjadi nelayan tidak secara langsung mandiri, tetapi ada yang ikut kerja sebagai awak perahu nelayan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya pusat perdagangan dan dunia maritime serta politik di Bandar Barus dan Singkil, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Faktor eksternal di antaranya dipengaruhi oleh semakin berfungsinya Bandar Sibolga sebagai pusat karesidenan Tapanuli. Perairan Sibolga lebih tenang daripada Barus dan Singkil, sebab dilindungi oleh pulau-pulau kecil di perairan teluk Tapian Nauli. Selain itu Bandar Belawan dan Teluk Bayur[48] berkembang dengan pesat sehingga melebihi perkembangan Barus dan Singkil yang semakin pudar. Faktor internal lebih banyak disebabkan oleh kondisi Barus dan Singkil dan wilayah sekitarnya sendiri, seperti pertikaian yang berlarut-larut antara raja Barus Hilir dan raja Barus Mudik. Jaringan perdagangan ke pedalaman semakin sepi, termasuk ke Singkil sebab terbentuknya jaringan baru menuju Sibolga. Setelah kapal dagang tidak lagi membawa barang komoditi ke Barus juga mempengaruhi perdagangan secara langsung.

Sejak abad XIX di kawasan selatan Barus dan Singkil telah dibuka Bandar Sibolga, yang menjadi pusat perdagangan hasil perkebunan, hutan dan barang komoditi lainnya. Hasil perkebunan terdiri dari tembakau, karet, kopi dan kelapa sawit. Produksi perkebunan itu juga dikeluarkan melalui Bandar Belawan, yang juga menyebabkan Bandar itu menjadi lebih ramai dikunjungi oleh kapal dagang, termasuk sebagian dari beralihnya kapal yang pernah singgah di Barus. Sejak itu, secara berangsur-angsur peranan Barus dan Singkil hilang dari rute pelayaran.

Sepinya bandar Barus dan Singkil dari pelayaran merupakan persoalan yang berlarut-larut bagi penduduk setempat bahkan semakin lama semakin tertinggal jauh dibandingkan Bandar lain yang lebih cepat perkembangannya[49]. Kebanggaan penduduk pantai barat Sumatera terhadap kejayaan Barus dan Singkil pada masa silam tidak dapat dirasakan karena kejayaan Bandar itu telah sirna dan hanya tinggal kenangan. Paling tidak, tergambar pada kondisi Bandar Barus dan Singkil menjelang berfungsinya Bandar Sibolga pada tahun 1842. Indikator pasti yang menggambarkan ketertinggalan Bandar di pesisir Tapanuli itu dapat dilihat dari kemerosotan pelayaran dan perdagangan di Bandar itu[50]. Pada tahun 1892 bandar Padang (Emmahaven) telah selesai dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Demikian juga pada tahun 1922 bandar Belawan di pantai timur Sumatera telah semakin berfungsi untuk mengekspor barang komoditi dari perkebunan Deli dan sekitarnya. Dengan demikian, semua kegiatan perdagangan dan pengapalan barang yang biasanya dilakukan di Bandar Barus dan Singkil diambil alih oleh kedua Bandar tersebut.

Mundurnya kegiatan perdagangan dan pelayaran di Bandar Barus, berdampak pada pada keberadaan fasilitas pelabuhan itu sendiri serta fasilitas pelabuhan di sekitarnya termasuk Singkil. Fasilitas yang ada di pelabuhan, seperti dermaga dan gudang mengalami kerusakan alamiah sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Banyak barang yang hanya ditumpuk di pantai pasir di belakang perumahan penduduk. Sebagian gudang pelabuhan bekas bangunan Belanda pernah dimanfaatkan sebagai tempat pertukangan Inpres dan sebagian lagi untuk kantor Kejaksaan Negeri.
Pelayaran rakyat (kurang dari 500 ton) dengan jadwal pelayaran tidak menentu dikelola langsung oleh pihak Pemerintah Daerah setempat untuk melakukan kegiatan pelayaran rakyat ini adalah Agen Komisi Tua Sabar dan Agen Komisi Sahabat. Agen Komisi Tua Sabar memiliki 5 buah kapal dengan trayek pelayaran Barus – Gosong Telaga/Singkil – Pulau Banyak – Kepulauan Air (Aceh Selatan) dan trayek pelayaran Barus – Gunungsitoli – Lahawa – Teluk Dalam. Di samping itu, Agen Komisi Sahabat memiliki 2 kapal dengan trayek pelayaran Manduamas – Gosong Telaga/Singkil dan trayek pelayaran Barus – Pulau Banyak – Sinabang pergi pulang. Jarak tempuh Barus ke Manduamas dengan menyusuri Aek Tapus sekitar 2 jam dengan kecepatan 3 sampai 4 knot/jam.

BAB IV
PENUTUP

Hubungan dagang sering terjalin melalui lautan, karena pusat-pusat pemerintahan (yang sekaligus menjadi pusat perdagangan) pada mulanya berkembang di muara sungai, sehingga komunikasi lebih mudah diselenggarakan melalui laut. Demikian juga halnya dengan perhubungan antara pusat perdagangan di wilayah kepulauan, lebih banyak perdagangan yang melalui laut daripada yang melalui daratan pada waktu itu. Hal itu disebabkan transportasi yang berkembang dan tersedia pada waktu itu adalah sungai dan laut. Sedangkan transportasi darat belum begitu berkembang, sehingga pusat perdagangan dan permukiman lebih banyak tumbuh di sepanjang aliran sungai dan laut.
Nicolas Tarling menyebutkan bahwa faktor kesuburan tanah sangat penting bagi munculnya pusat-pusat permukiman penduduk di kawasan Asia Tenggara. Pada daerah-daerah subur, semenjak awal Masehi muncul pusat-pusat permukiman penduduk, namun demikian pusat-pusat serupa itu kurang berkembang sebagai pusat-pusat kekuasaan politik karena hambatan keadaan alam secara fisik. Pusat-pusat politik pada lembah-lembah sungai, sulit mengadakan komunikasi dengan wilayah lain karena dibatasi oleh pegunungan ; karena itu, pusat-pusat politik menjadi terisolir. Mereka hanya dapat berhubungan dengan daerah pedalaman yang dihubungkan oleh sungai-sungai tertentu saja.
O.W. Wolters mengemukakan bahwa munculnya kerajaan-kerajaan masa awal di Asia Tenggara akibat dari reaksi penduduk setempat yang menggunakan kesempatan yang diberikan oleh pedagang asing sewaktu perdagangan di sini menjadi ramai.

Munculnya Singkil sebagai salah satu pusat perdagangan maritim di pantai selatan Aceh dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Ke dalam faktor internal, unsur letak geografis dan keadaan alam berpengaruh besar bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan tanah yang subur pada lembah sungai memungkinkan terjadinya pemusatan penduduk yang membuka permukiman di Singkil.

Daerah yang terletak pada posisi strategis di jalur perdagangan memungkinkan daerah ini terkait dalam kegiatan-kegiatan perdagangan. Faktor letak pada jalur perdagangan dapat pula dihubungkan dengan keadaan iklim yang berlaku secara umum di Asia Tenggara, yang membawa pengaruh pula pada pertumbuhan perdagangan di Singkil.

Sayatan dan ulasan yang telah diungkapkan memberikan gambaran bagaimana kedudukan kawasan Aceh (Singkil) dalam perkembangan perdagangan maritim dan peranan kelompok yang mengangkat wilayah itu dalam percaturan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan dan kemajuan kawasan itu pada masa lampau lebih besar berada di pundak pedagang. Peranan itu berkaitan erat dengan profesi mereka sebagai pedagang dan pelaut. Selain itu, patut dicatat pula peranan dari pedagang dan pelaut bumuputera lainnya seperti Melayu, Arab dan Cina. Keunggulan mereka itu ditentukan oleh beberapa faktor : mereka menganut prinsip laut bebas dan menyelenggarakan perdagangan bebas, mereka memiliki sikap keras, cekatan, gigih, giat dan tidak mengenal kata menyerah dalam melakukan kegiatan, mereka bergiat menjalin hubungan niaga dengan cara memberikan hadiah, mereka selalu menempati janji dalam melakukan jalinan niaga, mereka memberikan penilaian harga yang laik dari produksi penduduk yang dibeli, mereka cenderung menjadikan bandar niaga di negeri mereka sendiri sebagai pusat kegiatan ekonomi mereka, karena ingin mengelak dari berbagai formalitas administrasi birokrasi yang dipandang menghambat.

Faktor-faktor itu yang mendasari kehadiran mereka sebagai kelompok yang memegang peranan penting dalam dunia niaga di Asia Tenggara, khususnya dalam kegiatan perdagangan maritim di kawasan kepulauan Indonesia, sehingga menjadikan bandar niaga Singkil sebagai pusat perdagangan yang terpenting pada saat itu.

Berpangkal pada penggalan gambaran kesejarahan yang telah dijelaskan menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan maritim tampak merupakan bidang kegiatan yang memungkinkan bagi pengembangan dan kemajuan kawasan itu. Penduduk kawasan itu memiliki potensi yang memadai, karena masyarakatnya secara tradisional semenjak lama melibatkan diri dalam kegiatan itu dan mampu mengembangkan diri dan memajukan perdagangan maritim. Namun demikian, persoalan yang muncul apakah dinamika internal pada masa lampau itu masih dimiliki dan laik bagi kekinian. Hal itu perlu disimak secara seksama dalam memilih dan menentukan program pembangunan kawasan itu secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung:
Mizan, 1995)

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomr Pires and the Book of Fransisco
Rodrigues, (Londong: Hakluyt Society, 1944).

Burger, D.H., Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djilid 1, Djakarta :
Pradnjaparamita, 1962

Lihat sumber
Share on Google Plus

About peace

Dairi Keren kumpulan berira mengenai Dairi dan Pakpak

4 komentar:

  1. Games.online IONQQ.GAMES/ IONpk.org. pin BB :58ab14xf5
    silahkan daftar dan dapatkan keuntungan yang besar dengan bermain di IONpk.Org:)

    BalasHapus
  2. HARI BAIK UNTUK SEMUA ORANG!

    Nama saya Amisha Chahaya Saya dari Indonesia Saya telah mencari perusahaan pemberi pinjaman nyata selama 5 bulan terakhir, untuk membeli rumah dan membangun bisnis. Semua yang saya dapatkan adalah banyak penipuan yang membuat saya percaya mereka dengan kata-kata manis mereka. dan pada akhirnya mereka mengambil semua uang saya tanpa memberi saya imbalan apa pun,

    Harapan saya hilang, saya bingung dan kecewa, saya tidak pernah ingin melakukan apa pun dengan perusahaan pinjaman di internet, jadi saya pergi untuk meminjam uang dari teman, saya mengatakan kepadanya semua yang terjadi dan dia berkata dia bisa membantu saya, bahwa dia tahu perusahaan pinjaman yang dapat membantu saya dengan jumlah pinjaman yang saya butuhkan dengan tingkat bunga sangat rendah 2%, dia baru saja mendapatkan pinjaman dari mereka, dia mengatakan kepada saya bagaimana mengajukan pinjaman, saya melakukan apa yang dia katakan kepada saya , Saya melamar bersama mereka di Email: (mariaalexander818@gmail.com) Saya tidak pernah percaya tetapi saya mencoba dan kejutan terbesar saya adalah bahwa saya mendapat pinjaman dalam waktu 24 jam, saya tidak percaya,

    Saya sangat bahagia dan kaya lagi dan saya bersyukur kepada Tuhan bahwa perusahaan pinjaman seperti ini masih ada selama penipuan ini di mana-mana, tolong beri tahu semua orang di luar sana yang membutuhkan Pinjaman untuk mengunjungi Email mereka (mariaalexander818@gmail.com) mereka tidak akan pernah gagal,Dan hidup Anda akan berubah seperti yang saya lakukan, Jadi, berhubunganlah dengan cepat (mariaalexander818@gmail.com) hari ini dan dapatkan pinjaman Anda dari mereka, Tuhan memberkati perusahaan pemberi pinjaman Anda untuk penawaran pinjaman asli mereka. Pastikan Anda menghubungi Peminjam untuk pinjaman Anda karena saya berhasil mendapatkan pinjaman dari perusahaan ini tanpa tekanan apa pun.

    MANAJER CABANG: MARIA ALEXANDER
    EMAIL: mariaalexander818@gmail.com
    HUBUNGI NUMBER: +1 (651) 243-8090
    WHATSAPP: +1 (651) 243-8090

    Silakan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi apa pun melalui email saya: (amishachahaya8@gmail.com)

    Terima kasih semuanya mendengarkan kesaksian saya
    Semoga ALLAH memberkati Anda semua.

    BalasHapus
  3. Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa stres dan kesulitan keuangan,

    Setelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan

    Saya mengajukan sejumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diminta untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.

    Saya pikir itu hanya lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memerintahkan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.

    Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,

    Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)
    Terima kasih semua.

    BalasHapus
  4. Selamat siang semuanya !!!
    Nama saya Tn. Rashid Husaen dan saya berasal dari Jawa Barat, Indonesia dan saya berbicara sebagai salah satu orang paling bahagia di dunia saat ini dan saya berkata pada diri sendiri bahwa pemberi pinjaman menyelamatkan keluarga saya dari situasi buruk kami, saya akan memberi tahu namanya kepada dunia. dan saya sangat senang mengatakan bahwa keluarga saya kembali selamanya karena saya membutuhkan pinjaman sebesar Rp300.000.000,00 untuk memulai hidup saya karena saya adalah satu ayah tunggal dengan 5 anak dan dunia sepertinya mengandalkan saya ketika saya mencoba untuk mendapatkan pinjaman Dari bank dan bank online menolak pinjaman saya, mereka mengatakan bahwa pendapatan saya rendah dan saya tidak memiliki jaminan untuk pinjaman jadi saya online dan hal-hal semakin sulit karena mereka merobek uang saya dengan janji manis untuk membantu saya

    Sampai saya melihat posting ibu Nyonya Maria dari sebuah blog dan saya memohon padanya, dia memberi saya semua syarat dan ketentuan dan saya setuju dan dia mengejutkan saya dengan pinjaman yang mengubah hidup saya dan keluarga saya, dan pada awalnya saya berpikir ini tidak mungkin terjadi karena pengalaman masa lalu saya dan janji-janji palsu tetapi saya terkejut, saya menerima pinjaman saya Rp300.000.000,00 dan saya akan menyarankan siapa pun yang benar-benar membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Nyonya Maria Alexander wanita kata-katanya, melalui email : (Mariaalexander818@gmail.com) karena mereka adalah pemberi pinjaman yang paling memahami dan baik. siapa pun yang ingin pinjaman atau cara mendapatkan pinjaman asli, harus menghubungi Via

    email: (mariaalexander818@gmail.com)
    whatsapp: (+1 651-243-8090) Viber; (+1 651-243-8090)

    Anda dapat menghubungi saya Ny. Rashid untuk informasi lebih lanjut (rashidhusaen18@gmail.com)

    Allah Maha Besar
    Terima kasih semuanya

    BalasHapus