Larangan Menikah Semarga di Masyarakat Pakpak Lae Balno, Aceh Singkil

LAe Balno (ilustrasi)
DAIRI KEREN -- KETENTUAN pernikahan sudah diatur secara terperinci dalam agama Islam. Misalnya, syarat nikah, rukun nikah, dan siapa saja orang yang boleh dinikahi. Tapi lain lubuk lain ikannya. Begitu kata pepatah. Lain daerah lain pula adatnya. Dalam hal pernikahan banyak sekali tradisi dan adat istiadat yang mesti diikuti oleh kalangan masyarakat tertentu.

Adat pernikahan pun berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Termasuk adat pernikahan di wilayah Aceh Singkil. Aceh Singkil memiliki 117 desa yang tersebar di sebelas kecamatan.

Dari sekian banyak desa di Aceh Singkil, ada satu desa yang menarik perhatian saya, yaitu Lae Balno. Desa ini berada di bawah naungan Kecamatan Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil.

Desa Lae Balno berbatasan langsung dengan Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Lae Balno merupakan wilayah perbatasan dan tergolong sebagai daerah terpencil. Namun, desa ini berada di jalan lintas utama Singkil-Medan. Atau dalam bahasa lain disebut jalan lintas nasional. Meskipun berada di jalan nasional di wilayah barat-selatan Aceh, tapi kehidupan ekonomi masyarakatnya di bawah rata-rata.

Nama Lae Balno merupakan kutipan asli dari bahasa Pakpak, sebab mayoritas penduduk desa ini dari suku Pakpak. Jika diartikan ke bahasa Indonesia, Lae Balno artinya Air Rotan. Itu karena, di desa ini terdapat sungai dan dulunya di pinggir sungai-sungai itu banyak tumbuh subur tanaman rotan. Mayoritas mata pencaharian masyarakat di desa yang berada di perbukitan ini adalah petani. Baik itu petani padi maupun pekebun, seperti berkebun kelapa sawit dan karet.

Masyarakat Desa Lae Balno terdiri atas berbagai suku. Antara lain, suku Pakpak. Etnis Pakpak mengenal istilah marga. Persis seperti mayoritas masyarakat Sumut yang memiliki marga Nasution, Siregar, Hutapea, dan lainnya.

Marga dalam suku Pakpak diturunkan dari garis patrilinial (ayah). Di antara marga yang ada di Desa Lae Balno ialah Tumangger, Berutu, Manik, Sulin (Solin), Berasa, Gajah, dan Sihotang.

Suku Pakpak yang mendiami Desa Lae Balno merupakan masyarakat pribumi sejak zaman nenek moyang mereka. Hanya 10% saja suku pendatang yang berasal dari Nias. Lambat laun, mereka menikah dengan masyarakat asli Lae Balno dan menetap di sana sampai sekarang.

Penganut Islam di Lae Balno hanya 50%. Selebihnya nonmuslim. Meskipun status penganut agama seimbang, tapi kehidupan sosial mereka sangatlah harmonis. Hal ini terlihat ketika orang Islam mengadakan pesta, baik pesta perkawinan maupun khitanan, para nonmuslim akan datang dan membantu pekerjaan pada acara pesta tersebut. Begitu juga sebaliknya, nonmuslim juga akan mengundang orang Islam ketika mengadati (pesta) anaknya.

Ketika saya mendatangi Desa Lae Balno, banyak tantangan dan rintangan. Misalnya, tanjakan yang terjal dan jalan yang sempit. Di sana fasilitas umum sangat minim. Jaringan alat komunikasi bisa dikatakan tidak stabil, bahkan tak ada sinyal. Saat masyarakat memerlukan fotokopi, mengetik surat, dan yang lainnya, masyarakat tak bisa mendapatkannya di desa tersebut. Terpaksa mereka menuju ke desa tetangga dengan menempuh perjalanan jauh. Tepatnya di Desa Saragih, Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

Ketika saya sampai di Lae Balno, masyarakat setempat bertanya, Ise gelakhmu (Siapa namamu)? Kade margamu (Aapa margamu)? Pertanyaan tersebut menjadi wujud pentingnya marga dalam kehidupan suku Pakpak. Saat suku Pakpak satu marga melakukan perjalanan ke suatu tempat, lalu mereka bertemu dengan sesama marga seperti marga Manik, maka pertemuan tersebut ibarat bertemunya saudara kandung. Jika kita yang lebih tua, maka ia memanggil kita abang. Begitu juga sebaliknya, jika kita lebih muda dari dia, maka kita yang memanggilnya abang.

Hal ini menandakan begitu pentingnya ikatan marga bagi suku Pakpak. Itu sebab, ketika pemuda di Desa Lae Balno menyukai seorang perempuan yang akan dia peristri, maka hal utama yang harus diketahui adalah marga sang gadis yang ia cintai. Sang pemuda wajib memastikan keduanya tidak satu marga. Prinsip perkawinan yang berkembang di desa ini ialah pernikahan haruslah dengan orang di luar marganya (eksogami).

Berdasarkan prinsip perkawinan di atas, maka dilarang keras menikah dengan orang yang semarga. Sebab satu marga dianggap satu keturunan, satu nenek moyang, bahkan dianggap satu perut (rahim). Jadi, bila ada suku Pakpak yang menikah sesama marga, itu sama halnya seperti menikahi saudara kandung sendiri. Menikah dalam satu marga sama saja dengan inses (pernikahan sumbang).

Sanksi menunggu
Bagi pelaku sumbang, hukuman juga siap menunggu pasangan tersebut. Menurut Ustaz Insanuddin Berutu, imam Desa Lae Balno, pada masa nenek moyang mereka di desa ini pernah terjadi pernikahan semarga. Akhirnya petinggi desa setempat memberikan sanksi kepada pasangan sumbang ini. Mereka dibawa ke sungai, lalu kepala keduanya dipenggal hingga mati.

Pernikahan semarga sangat dilarang di desa ini. Menurut Ibu Darni Tumangger, salah satu warga Desa Lae Balno, pada tahun 2016 pernah ada seorang pemuda asal Desa Lae Balno yang kepincut pada seorang perempuan di luar Kecamatan Danau Paris, tapi masih berada dalam kawasan Kabupaten Aceh Singkil. Ketika laki-laki itu melamar wanita pujaan hatinya, orang tua dari pihak perempuan bertanya status marganya. Ia jelaskan bahwa dirinya dari kalangan marga Berutu. Ternyata perempuan idaman yang akan dilamarnya itu pun bermarga Berutu. Kontan saja cinta kedua anak manusia satu marga ini kandas dihadang adat.

Larangan perkawinan satu marga bukan hanya berlaku bagi umat Islam, tapi juga mengikat nonmuslim. Soalnya, dalil larangan menikah semarga bukan dari tuntunan Islam, tapi berasal dari adat istiadat suku Pakpak. Namun, larangan perkawinan semarga tidak berlaku pada semua desa di Kabupaten Aceh Singkil, misalnya di Desa Tanah Bara, Sakup, Seping Baru, dan lainnya. Di ketiga desa tersebut pernah terjadi perkawinan semarga, tapi tak menjadi persoalan dan tak ada sanksi bagi pelakunya.

Kini, masyarakat Desa Lae Balno sangat menjungjung tinggi adat istiadat. Setelah peristiwa yang terjadi tempo dulu, mereka tak pernah lagi melakukan pernikahan semarga sampai sekarang. Adat ini terus dilestarikan sebagai wujud kepatuhan dalam menjaga peninggalan indatu (nenek moyang) suku Pakpak, meskipun mereka tak lagi bermukim di Tanah Batak.

OLEH KHAIRUDDIN S.HI., M.Ag., Koordinator Warung Penulis Chapter Aceh Singkil dan dai Perbatasan Aceh, melaporkan dari Lae Balno, Aceh Singkil (sumber)
Share on Google Plus

About peace

Dairi Keren kumpulan berira mengenai Dairi dan Pakpak

0 komentar:

Posting Komentar