Desa budaya Tanjung Mas di Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, menyimpan jejak sejarah yang tak ternilai dalam penyebaran syiar Islam di wilayah Singkil, Pakpak Bharat, dan Dairi.
Jauh sebelum Aceh Darussalam meraih kegemilangan sebagai pusat peradaban Islam (era Samudera Pasai), Tanjung Mas telah menjadi titik tolak penting bagi dakwah, bahkan mengalami masa keemasan di abad ke-16. Keterkaitannya dengan tokoh-tokoh ulama dan struktur pemerintahan tradisional membuktikan perannya sebagai simpul vital dalam menanamkan fondasi Islam di kawasan ini.
Sejarah perkembangan Islam di Singkil dan tanah Pakpak serta Karo dapat ditelusuri hingga tahun 1539, berdasarkan catatan sejarah (seperti Pustaka Alim Kemberan) yang telah diwariskan. Pada masa itu, Sungai Singkil berfungsi sebagai jalur utama penyebaran penduduk dari Minangkabau, termasuk suku Simbiring atau Kembaren, yang kemudian menuju Pakpak dan Tanah Karo.
Islam sendiri telah masuk ke Nusantara melalui Barus, dekat Singkil pada abad ke-7 dan penemuan arkeologis di Situs Bongal menunjukkan Islam telah hadir sejak abad pertama hijriyah.
Usai era serangan Rajendra Chola ke Sriwijaya, termasuk Barus, kerajaan Samudera Pasai di Aceh mulai menguat. Begitu juga hubungan dengan Mekkah dan Timur Tengah baik untuk dagang maupun haji. Seperti pernikahan perempuan Maleala (di Karo masuk rumpun Sembiring) dengan orang Mekkah.
Tanjung Mas muncul sebagai pusat penting dengan keberadaan Raja Tandjong Mas (ejaan lama) yang memberikan izin kepada berbagai cabang marga untuk menetap dan belajar Islam. Misalnya, leluhur Pael, Kepala Kampung Sikabukaboe yang bergelar Raja Lela dari marga Sibarutoe (Barutu), adalah orang pertama dari Sim Sim (Simsim salah satu puak Pakpak) yang pergi ke Boven-Singkel (Singkil Hulu) dan belajar tentang Islam di sana, berkat kekerabatannya dengan Raja Tandjong Mas.
Demikian pula cabang pertama dari Pakpak yang turun ke Boven Singkelsche, yaitu marga Bandjar (Banjar bagian dadi marga Marbun?), juga memperoleh izin dari Raja van Tandjong Mas untuk menetap di Pinto dan di sanalah mereka kemudian memperdalan ilmu Islam. Ini memperlihatkan betapa strategisnya posisi Tanjung Mas sebagai pintu gerbang penyebaran Islam bagi pendatang dari wilayah sekitarnya.
Kepemimpinan Padum, bergelar Raja Lela, dari marga Sibarutoe (cabang Tinda) juga menunjukkan hubungan erat dengan Tanjung Mas. Nenek moyang Padum, Zicli, serta saudaranya Boekit dan Kabar, yang berasal dari Hoeta Oedjoeng (Sim Sim), juga singgah di Singkelsche Atas. Boekit bahkan memilih untuk tinggal di Tanjung Mas dan Kabar di Laboean Kerah, di mana keduanya memperdalam ilmu Islam.
Keberadaan Tanjung Mas yang berdekatan dengan Laboean Kerah juga berperan dalam pengangkatan Polih sebagai Hadja Léla, yang kemudian digantikan oleh Santo dan Padum. Hal ini menegaskan pengaruh kuat Tanjung Mas dalam struktur kepemimpinan dan penyebaran Islam di kampung-kampung sekitarnya, dengan Raja Léla Laboean Kerah menikmati manfaat serupa dengan Raja Léla dari Sikabuboo.
Peran Tanjung Mas juga terlihat dalam kisah Kepala Laé Reman, Asim, dari marga Si Ketanjr fj o yang menyandang gelar Raja Lela. Kakeknya, Pocgana, keturunan Pakpak, membeli Lae Reman dari kepala marga Radang Tip-Tip yang belum masuk Islam. Poegana kemudian mengikuti perintah Tandjong Mas, memeluk Islam, dan dianugerahi gelar Raja Lela, dengan nilai "binaboe" $21.
Bahkan kisah Hadji Achmad dari Marga Boewang Menalun (Boangmanalu), yang bergelar Raja Lela di kampungnya, menunjukkan bagaimana ia menempuh jalur berbeda untuk memeluk Islam.
Agar tidak menjadi "orang rajat" dari Singkelee Hulu, ia pergi ke Aceh dan di sana masuk Islam. Ia bahkan bertemu Sultan dan diangkat menjadi Raja Lela di daerah Boewang Menaloens (Udjoeng Limau) oleh Sultan Aceh.
Salah satu penemuan penting yang menegaskan signifikansi Tanjung Mas adalah lokasi makam Ali Fansuri, ayah kandung ulama besar Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang terletak di seberang pemukiman Desa Tanjung Mas.
Saat ini, makam dapat dijangkau dengan perahu melewati Sungai Lae Cinendang. Syekh Ali Fansuri yang juga pernah tinggal di Pakpak Bharat sekarang sebelum dakwah di Singkil dikebumikan di Desa Tanjung Mas karena lokasi tersebut dulunya adalah perkampungan tempat ia tinggal dan membuka pengajian atau "dayah."
Ketika wafat, Ali Fansuri dimakamkan di kompleks dayahnya, di samping makam istrinya, yang juga merupakan ibunda Syekh Abdurrauf As-Singkili.
Keberadaan makam Ali Fansuri di Tanjung Mas menunjukkan bahwa desa ini adalah pusat pendidikan dan penyebaran ilmu agama pada masanya. Ini mengukuhkan status Tanjung Mas sebagai salah satu cikal bakal penting dalam melahirkan ulama-ulama besar dan menyebarkan ajaran Islam secara lebih luas di Nusantara.
Singkil telah melahirkan banyak pahlawan besar yang perannya tak dapat dinafikan, meskipun sering terabaikan dalam narasi sejarah Aceh secara umum. Nama-nama seperti Siti Ambiyah, Sultan Daulat, Datuk Murad, dan Datuk Ijo atau Mat Ijo, adalah bukti kekayaan sejarah dan spiritual Singkil yang perlu lebih diperdalam. Sebagian pahlawan gugur dalam melawan penjajahan Belanda saat invasi ke Aceh dan Tanah Batak.
Sejarawan Indonesia, Tengku Lukman Sinar, juga menegaskan bahwa banyak kerajaan tua dan makam para ulama di Singkil teemasuk pemakaman Binanga, memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Aceh. Ini menunjukkan jalinan sejarah yang kompleks dan saling terkait antara Singkil dan Aceh Darussalam.
Kerajaan Aceh Darussalam, yang disegani di dunia, tidak hanya karena luas wilayah dan kekuatan militernya, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, serta peradaban dan budaya yang agung. Kehebatan ini tidak lepas dari pemikiran mufti fenomenal seperti Syekh Abdurrauf atau Syiah Kuala dan Syekh Hamzah Fansuri.
Hubungan antara Singkil dan Aceh Darussalam tidak dapat dipisahkan. Benang merah yang menjuntai, merenda, dan berajut bagaikan jala, menghubungkan kedua entitas ini. Sultan Iskandar Muda, misalnya, akan selalu disebut bersama dengan Qadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf.
Sebuah hadih maja yang populer di Aceh, "Adat bak Poteo Meureuhoom, hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Poetroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut," menjadi filosofi hidup dan politik rakyat Aceh. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Syiah Kuala, ulama yang terkait erat dengan Singkil, dalam pembentukan adat dan hukum di Aceh.
Abuya Tengku Baihaqi, seorang pimpinan pesantren di Aceh Singkil, juga berbagi pengalamannya tentang nuansa kerajaan-kerajaan di Singkil pada masa kecilnya. Keluarganya bahkan terlibat sebagai pemangku kerajaan pada Kerajaan Tanjung Mas, yang merupakan bagian dari Kerajaan Aceh setelah sebelumnya ditaklukkan oleh Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau.
Penyerahan wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri, yang dikenal sebagai "Rantau 12," oleh putra Raja Minang Kabau kepada Raja Aceh sebagai mas kawin, menandai resminya wilayah tersebut sebagai bagian dari Kerajaan Aceh. Sejak itu, semua kepala negeri diangkat langsung oleh Sultan Aceh, Alaidin Ali Ri'ayatsyah, dengan penyematan keris Bawar.
Pengukuhan ini oleh Sultan Aceh, Alaidin Ali Ri'ayatsyah (Sultan al-Kahhar), juga ditunjukkan dengan pemberian tongkat jabatan berjambul emas kepada raja-raja di kerajaan Singkil, sementara kerajaan Batu-batu di Simpang Kiri dan 13 kerajaan lainnya menerima tongkat jabatan dengan jambul perak. Ini melahirkan "Raja Sinambelas" (raja 16) yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, dengan ibukota Banda Aceh.
Dengan demikian, peran Desa Budaya Tanjung Mas dalam dakwah Islam di Singkil, Pakpak Bharat, dan Dairi tidak hanya terbatas pada keberadaan tokoh-tokoh ulama besar. Lebih dari itu, Tanjung Mas merupakan simpul sejarah yang menghubungkan berbagai suku dan wilayah, menjadi titik awal bagi masuknya ajaran Islam, serta pusat penting dalam pembentukan struktur pemerintahan tradisional yang mendukung penyebaran agama ini di Nusantara.
Lihat sumber:
Dari Ridwan Selian:
https://www.facebook.com/share/p/1BoEnB9mGT/
Mengenai Hamzah Fansuri dan Pakpak
https://www.facebook.com/share/p/1DtARjaF6t/
0 komentar:
Posting Komentar