Di kalangan peneliti sejarah lokal Sumatera, perdebatan mengenai asal-usul marga sering kali memunculkan hipotesa yang tak biasa. Salah satunya adalah gagasan tentang marga Bancin di Pakpak Bharat dan Singkil yang mungkin memiliki kaitan historis dengan Albaicín, sebuah kawasan legendaris di Granada, Spanyol, yang namanya bertahan sebagai surname hingga kini.
Albaicín sendiri dikenal sebagai distrik tua di Granada yang menjadi pusat komunitas Muslim pada masa kejayaan Andalusia. Kawasan ini merekam jejak panjang peradaban Islam di Semenanjung Iberia, sejak masa awal kekuasaan Umayyah hingga runtuhnya Granada pada abad ke-15. Nama Albaicín kemudian bertahan bukan hanya sebagai penanda tempat, tetapi juga menjadi surname bagi sejumlah keluarga di Spanyol.
Sementara itu, di belahan dunia lain, tepatnya di Tanah Pakpak dan Singkil, marga Bancin sudah lama dikenal sebagai bagian penting dari struktur sosial masyarakat. Nama ini telah berakar dalam tradisi lokal, digunakan turun-temurun, dan menjadi identitas keluarga yang membanggakan.
Hipotesa yang berkembang mencoba menghubungkan dua nama tersebut: Albaicín di Andalusia dan Bancin di Sumatera. Beberapa pihak berpendapat bahwa kesamaan bunyi bukanlah hal kebetulan semata, melainkan bisa jadi cerminan dari suatu hubungan sejarah yang jauh lebih dalam.
Teori ini berpijak pada dugaan bahwa pasca runtuhnya Andalusia, sebagian orang Muslim yang terusir dari Spanyol berlayar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk ke Nusantara. Jika hipotesa ini benar, bukan mustahil ada keturunan mereka yang menetap di Sumatera, lalu menurunkan nama yang terdengar mirip dengan Albaicín.
Namun, ada pula pandangan yang lebih berhati-hati. Menurut pendekatan etnolinguistik, marga Bancin bisa jadi berasal dari akar lokal, misalnya dari suku Bacin di Minangkabau atau dari kelompok Batin di Lampung. Keduanya dikenal memiliki tradisi penamaan yang juga bisa menjelaskan kemunculan nama Bancin di Tanah Pakpak.
Meski demikian, penggemar teori keterhubungan global tetap melihat adanya daya tarik dalam kesamaan bunyi tersebut. Bagi mereka, Bancin dan Albaicín adalah potongan mozaik sejarah yang memperlihatkan bagaimana identitas bisa melintasi benua, meskipun bukti langsung belum ditemukan.
Sumber-sumber kolonial Belanda yang mendokumentasikan marga-marga di Sumatera memang tidak menyinggung keterkaitan Bancin dengan Andalusia. Akan tetapi, absennya catatan formal tidak serta-merta menutup kemungkinan adanya benang merah yang hilang di antara perantauan Muslim Andalusia dan komunitas di Nusantara.
Sejarawan yang meneliti diaspora Muslim pasca jatuhnya Granada menegaskan bahwa banyak pengungsi mengarahkan perjalanannya ke Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara. Nusantara yang saat itu menjadi pusat perdagangan global tentu bukan wilayah asing bagi pelayar Muslim.
Dalam konteks itu, hipotesa keterhubungan Albaicín dan Bancin menjadi lebih masuk akal. Sumatera sejak lama menjadi salah satu titik singgah penting dalam jalur maritim dunia. Interaksi antara para pedagang, ulama, dan pelaut dari berbagai penjuru memungkinkan terjadinya asimilasi budaya maupun nama.
Marga Bancin sendiri di Tanah Pakpak memiliki sejarah panjang dalam kehidupan adat. Mereka tercatat sebagai salah satu unsur penting dalam tatanan sosial, dengan peran dalam adat, pernikahan, hingga pemerintahan lokal. Keberadaan marga ini menunjukkan bahwa akar nama Bancin telah lama berbaur dengan kearifan lokal. Sekedar info, di situs Bongal, Tapanuli Tengah ditemukan beberapa artefak yang terkait era Umayyah.
Sementara itu, Albaicín di Granada masih menyisakan jejak arsitektur dan budaya Muslim. Dinding putih, jalan berbatu, dan tata ruang khas Andalusia menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu. Nama Albaicín yang kini digunakan sebagai surname menunjukkan kesinambungan identitas meski peradaban Islam di Spanyol telah lama runtuh.
Kedua nama ini, Bancin dan Albaicín, akhirnya memperlihatkan keindahan sebuah misteri sejarah. Apakah sekadar kebetulan, atau benar-benar ada hubungan genealogis yang terputus oleh waktu? Pertanyaan ini masih terbuka, menanti penelitian lebih lanjut.
Bagi masyarakat Pakpak Bharat dan Singkil, narasi ini tentu memberi warna baru bagi pemaknaan identitas. Marga bukan sekadar penanda kekerabatan, tetapi juga bisa menjadi jendela untuk memahami kemungkinan besar perjalanan leluhur yang melintasi benua.
Hipotesa tersebut, meskipun belum dapat dibuktikan, memberikan gambaran bahwa sejarah tidak selalu linear. Kesamaan nama bisa lahir dari interaksi global, bisa juga dari kearifan lokal yang kebetulan menghasilkan bunyi serupa.
Apa pun penjelasannya, diskusi mengenai Bancin dan Albaicín membuka ruang dialog antara sejarah lokal Nusantara dan peradaban Islam global. Narasi ini mengajarkan bahwa identitas selalu hidup, selalu bergerak, dan kadang menyimpan rahasia yang menunggu untuk diungkap.
Pada akhirnya, baik teori diaspora Andalusia maupun asal-usul lokal Minangkabau dan Lampung sama-sama menunjukkan betapa kaya warisan budaya Nusantara. Bancin menjadi contoh bahwa sebuah nama bisa mengandung kisah lintas zaman, lintas benua, dan lintas peradaban.
Dengan demikian, misteri keterkaitan Albaicín dan Bancin bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan juga ajakan untuk terus menggali, meneliti, dan merajut ulang potongan-potongan kisah yang tercecer di antara arsip, tradisi, dan lisan.
Sejarah Nusantara yang terbuka bagi pengaruh global memberi peluang bagi hipotesa seperti ini untuk hidup. Walau bukti masih samar, imajinasi sejarah itu sendiri memberi makna baru bagi generasi penerus marga Bancin di Sumatera.
Dan siapa tahu, di balik kesamaan nama itu, memang ada jejak darah, budaya, atau sekadar inspirasi yang melintasi Andalusia dan Sumatera, menyisakan resonansi hingga kini. Sebuah kisah yang menunggu untuk terus ditelusuri dengan hati-hati.
0 komentar:
Posting Komentar